Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) Alexander menyatakan selaku mitra pemerintah selalu terbuka untuk berdiskusi soal wacana kenaikan tarif royalti komoditas mineral dan batubara (minerba).
Diskusi ini agar program hilirisasi dan industrialisasi sektor nikel bisa melewati masa sulit dan mempercepat hilirisasi berkelanjutan.
Namun FINI menolak rencana pemerintah untuk kenaikan royalti atas sejumlah komoditas mineral dan batubara (minerba).
"Untuk menjaga iklim investasi dan daya saing produk hilirisasi nikel Indonesia, kami menolak rencana kenaikan royalti itu untuk saat ini. Ada beberapa pertimbangan terkait hal ini," ungkap Alexander melalui keterangan tertulis, Sabtu.
Pertama, kondisi ekonomi global saat ini yang tak menentu. Saat ini, pertumbuhan ekonomi global tertekan akibat perang berkepanjangan, perang dagang dan penurunan permintaan produk nikel dunia (akibat produk substitusi lithium ferro-phospahate), yang menyebabkan harga nikel mencapai level terendah sejak 2020.
Kedua, permintaan pasar Tiongkok yang lebih rendah dari yang diharapkan.
"Hilirisasi nikel amat bergantung pada industri baja dunia yang kini didominasi Tiongkok dan sedang mengalami pelemahan ekonomi. Selain itu, dampak meningkatnya ketegangan geopolitik Amerika dan Tiongkok dapat menghambat pertumbuhan industri kendaraan listrik," kata dia.
Ketiga, kebijakan pemerintah menaikkan biaya seperti kenaikan upah minimum regional (UMR) yang signifikan.
Keempat, kebijakan pemerintah terkait hilirisasi nikel saat ini sangat dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak 350 ribu orang.
Kelima, dampak global minimum tax yang menghapus tax holiday membebani keuangan industri nikel sebagai industri pionir.
Keenam, kontribusi subsektor mineral dan batubara yang berdampak positif bagi pembangunan nasional dengan penerimaan PNBP selalu melampaui target yakni tahun 2020 (110,25 persen), 2021 (193,03 persen), 2022 (180,91 persen), 2023 (118,41 persen) dan 2024 (125,84 persen).
Karena itu, menurut Alexander, belum waktunya saat ini untuk menaikkan tarif royalti terutama nikel dan turunan hilirasasinya.
"Seluruh perusahaan tambang serta pengelolaan dan/atau pemurnian nikel di Indonesia tengah menghadapi masa sulit selama dua tahun terakhir akibat faktor-faktor tersebut. PHK pun sudah di ambang mata," katanya.
Sebelumnya, dalam paparan konsultasi publik usulan penyesuaian jenis dan tarif PNBP sumber daya alam mineral dan batubara (minerba) Sabtu (8/3) lalu Kementerian ESDM mengusulkan kenaikan royalti atas sejumlah komoditas mineral dan batubara.
Salah satunya, pemerintah mengusulkan tarif progresif atas bijih nikel naik mulai 14 persen-19 persendari sebelumnya yang hanya 10 persen menyesuaikan harga mineral acuan (HMA). Angka kenaikan tersebut yakni 40 persen-90 persen dari single tariff bijih nikel yang berlaku sebelumnya.
Selain itu, tarif progresif nikel matte (bahan baku baterai) diusulkan naik 4,5 persen-6,5 persen menyesuaikan HMA sedangkan windfall profit dihapus. Sebelumnya berlaku single tariff 2 persen dan windfall profit bertambah 1 persen.
Angka kenaikan ini adalah sebesar 150 persen-200 persen dari single tariff bijih nikel yang berlaku sebelumnya.
FINI siap diskusi soal wacana kenaikan tarif royalti komoditas minerba
Sabtu, 15 Maret 2025 20:17 WIB

Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Barito, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Kamis (5/1/2023). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/rwa./dok