Jakarta (ANTARA) - Perang tarif antara AS dan China kembali memanas, mengguncang ekonomi global. Kebijakan proteksionisme Donald Trump, dengan kenaikan tarif hingga 100% untuk negara BRICS dan 60% untuk produk China, memperburuk rantai pasokan internasional.
Bagi Indonesia, ini jadi tantangan sekaligus peluang.
Tarif tinggi AS pada produk China tujuannya menekan dominasi Beijing, sementara China membalas dengan kebijakan serupa. Ketegangan ini mengganggu rantai pasokan global, menaikkan biaya produksi, dan merusak efisiensi perdagangan.
Bagi Indonesia, sebagai anggota BRICS, situasinya pelik. Kebijakan proteksionisme AS melemahkan rupiah dan memperburuk iklim investasi. Walau, perang tarif ini juga membuka peluang jika Indonesia mampu menarik perusahaan yang ingin keluar dari bayang-bayang China.
Kebijakan proteksionisme Donald Trump dengan tarif tinggi hingga 25% untuk produk China dan BRICS menyulut lonjakan biaya produksi dan menurunkan efisiensi perdagangan.
Perang tarif juga memicu ketidakpastian investasi global. Investor makin waspada menghindari risiko imbas kebijakan perdagangan yang tak menentu.
Perang tarif AS-China turut menyeret negara lain ke dalam pusarannya. Indonesia, misalnya, kehilangan ekspor hingga USD 300 juta akibat tarif AS pada produk China, ditambah potensi kerugian USD 36 juta dari tarif balasan China.
Sebagai anggota BRICS, Indonesia juga terancam tarif tinggi AS hingga 100%, yang melemahkan daya saing ekspornya, terlebih di sektor tekstil, elektronik, dan otomotif. Walau efek domino ini bukan cuma ancaman, ada celah bagi Indonesia untuk mengisi kekosongan pasar yang ditinggalkan produk China.
Dampak pada Indonesia
Perang tarif AS-China berefek tak langsung pada Indonesia lewat rantai pasokan global. Tarif tinggi AS untuk produk China membuat ekspor tidak langsung Indonesia turun USD 300 juta, mengingat banyak barang Indonesia diekspor ke AS lewat China.
Efek domino ini juga menekan permintaan global untuk produk Asia Tenggara. Lebih parah lagi, tarif tambahan AS untuk elektronik dan tekstil kian melemahkan daya saing produk Indonesia, memukul sektor manufaktur yang bergantung pada ekspor.
Perang tarif AS-China ikut menggoyang ekonomi Indonesia. Ketidakpastian global membuat dolar AS jadi aset safe haven, menekan rupiah hingga Rp16.340 per dolar AS per Maret 2025. Depresiasi ini bikin biaya impor barang modal dan bahan baku melonjak, memicu inflasi.
Bank Indonesia pun terjebak dilema: menurunkan suku bunga demi pertumbuhan ekonomi atau mempertahankan stabilitas rupiah agar arus modal tak kabur. Sementara itu, tarif tinggi AS yang mendongkrak harga barang impor makin memperburuk inflasi, yang ditaksir naik saat Ramadan dan Idul Fitri.
Indonesia kesulitan menarik investasi asing di tengah persaingan ketat dengan Vietnam dan Thailand. Vietnam sukses menarik perusahaan multinasional yang hengkang dari China berkat biaya tenaga kerja murah, insentif pajak menarik, dan logistik yang efisien. Sementara, Thailand makin kokoh sebagai hub manufaktur Asia Tenggara.
Indonesia butuh kebijakan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan daya saing ekspor di tengah tekanan global. Insentif fiskal seperti tax holiday dan tax allowance bagi industri berorientasi ekspor sudah diterapkan, ditambah pelatihan vokasi untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja.
Meski neraca perdagangan surplus USD 3,45 miliar pada Januari 2025, impor bahan baku masih mendominasi. Pengembangan industri substitusi impor jadi pilihan, tapi tanpa reformasi masif, ketergantungan pada produk luar sulit diputus.
Menuju visi Indonesia Emas 2045, pemerintah fokus pada reformasi regulasi, peningkatan SDM, dan investasi infrastruktur. Penyederhanaan perizinan lewat OSS serta penguatan KEK idealnya menarik lebih banyak investasi asing. Di sisi lain, peningkatan kualitas SDM digencarkan melalui pendidikan, pelatihan vokasional, dan Kartu Prakerja.
Baca juga: Menjadi pemenang perang tarif Trump
Baca juga: Tarif impor tambahan AS rusak stabilitas pasokan global