Jakarta (ANTARA) - Dalam pusaran wacana pembangunan berkelanjutan, sirkular ekonomi hadir sebagai antitesis dari model ekonomi linear yang selama ini dikenal luas, yakni ambil, buat, buang.
Gagasan ini bukan sekadar perombakan teknis dalam rantai produksi, melainkan sebuah revolusi fundamental yang menuntut dukungan politik dan kepemimpinan yang kuat.
Dari kebijakan pusat hingga tingkat paling bawah, dari regulasi ketat hingga edukasi sejak dini, sirkular ekonomi membutuhkan tatanan yang terstruktur dan eksekusi yang konsisten. Tanpa itu, ia tak lebih dari ilusi.
Sejarah mencatat bahwa transformasi ekonomi tidak pernah berjalan tanpa resistensi. Begitupun perkara efisiensi anggaran yang sedang diterapkan di Indonesia. Polemik yang beredar, seperti paradoks yang memang memerlukan prinsip kehati-hatian sangat tinggi.
Sebagaimana IMF sering membahas dampak kebijakan penghematan fiskal (fiscal austerity) terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dalam laporan "Fiscal Austerity and Growth: The Role of Policies and Institutions" (IMF, 2015) disebutkan bahwa pemangkasan anggaran yang tidak disertai strategi yang matang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, terutama jika dilakukan di tengah ketidakstabilan ekonomi.
Faktanya memang, di balik angka-angka yang diberikan, ada jaringan ekonomi bawah tanah yang selama ini menopang keberlangsungan ekonomi informal.
Dalam dunia bayangan inilah kreativitas tumbuh, birokrasi dilompati, dan solusi-solusi pragmatis lahir dari keterbatasan.
Bayangkan jika seorang perajin plastik daur ulang di pelosok yang selama ini bekerja tanpa izin formal, tiba-tiba terhambat karena regulasi baru, sementara di sisi lain birokrasi untuk mendapatkan izin tetap panjang dan berbelit.
Lalu, bagaimana menyeimbangkan ini? Studi dari Ellen MacArthur Foundation menunjukkan bahwa negara-negara yang sukses dalam mengimplementasikan sirkular ekonomi memiliki satu kesamaan utama, yakni harmonisasi antara kebijakan, insentif, dan edukasi.
Belanda, misalnya, telah lama menerapkan pajak atas bahan baku virgin untuk mendorong penggunaan material daur ulang.
Jerman, dengan sistem Pfand, sukses mengurangi limbah botol plastik melalui skema deposit-refund. Jepang, dengan kebijakan Sound Material-Cycle Society, membangun kebiasaan masyarakatnya untuk memilah dan mendaur ulang sampah sejak dini.
Indonesia berada dalam titik persimpangan. Negeri ini memiliki kekuatan demografi dengan bonus generasi muda yang kreatif. Namun, tanpa birokrasi yang efisien dan regulasi yang memberi ruang bagi inovasi, sirkular ekonomi hanya akan menjadi retorika.
Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan bahwa kebijakan tidak hanya hadir dalam bentuk aturan, tetapi juga dalam bentuk ekosistem yang memungkinkan setiap individu untuk berpartisipasi.
Jika hendak mengambil jalan sirkular ekonomi dengan serius, maka kepemimpinan politik harus mampu menjembatani kepentingan berbagai pihak.
Tidak cukup hanya dengan regulasi dari atas, namun perubahan budaya harus dimulai dari bawah. Pendidikan sejak dini tentang konsumsi berkelanjutan, pola pikir desain ulang produk, dan kebiasaan memilah sampah bukan sekadar tambahan kurikulum, tetapi harus menjadi bagian dari keseharian.
Baca juga: UI dukung prinsip ekonomi sirkular serta sediakan dropbox di area kampus
Baca juga: Guru Besar UI: Pencapaian SDGs butuh keseimbangan antara ekonomi dan ekologi