Depok, (Antara Megapolitan) - Pemerintah dan DPR perlu mencari solusi taktis dan strategis terhadap masalah kelistrikan nasional, demikian simpulan sebuah diskusi bertajuk "Reformasi Kelistrikan Nasional".
Direktur Center for Strategic Development Studies (CSDS) Dr Mulyanto menjelaskan bahwa upaya mencari solusi itu dibahas dalam diskusi di Gedung MITI Center, Jalan Juanda, Depok, Jawa Barat, Kamis.
Solusi dimaksud, katanya, terutama setelah terungkapnya surat Menteri Keuangan kepada Menteri ESDM dan Menteri BUMN yang menjelaskan kondisi keuangan Perusahaan Listrik Negara (PLN).
PLN terancam gagal membayar kewajiban utang korporasi karena pendapatan terus menurun, sementara belanja modal meningkat.
Pembicara dalam diskusi itu, yakni Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya Prof Mukhtasor menyatakan bahwa dalam jangka pendek perlu ditinjau ulang realisasi megaproyek pembangkit 35.000 megawatt, disesuaikan dengan tingkat konsumsi dan kemampuan penjualan PLN.
Saat ini, dari 35.800 MW yang direncanakan baru sekitar 3 persen pembangkit yang telah beroperasi.
Kelebihan pasokan akan terus meningkat pada masa akan datang setelah pembangkit-pembangkit listrik lainnya selesai dibangun.
Kondisi ini, katanya, dapat meningkatkan beban keuangan PLN yang luar biasa tinggi, sedang pendapatannya cenderung stagnan.
Di samping perbaikan tatakelola PLN sebagai BUMN agar bekerja lebih efisien dan produktif, mesti dilakukan perubahan kebijakan alokasi APBN yang selama ini untuk menutup defisit.
"Subsidi listrik menyangkut aspek hilir, sementara aspek hulu yang lebih strategis, yakni memperkuat keuangan PLN agar mampu menyediakan dan memasarkan listrik lebih baik dan harga terjangkau," kata Mukhtasor, mantan anggota Dewan Energi Nasional (DEN).
Kepala Bagian Program pada Pusat Teknologi Sumber Daya Energi dan Industri Kimia BPPT, Edi Hilmawan, yang hadir dalam diskusi sepakat perlunya perubahan kebijakan karena listrik terkait hajat hidup rakyat banyak.
Berdasarkan data tahun 2015, jumlah pelanggan PLN tercatat 59 juta, terdiri atas rumah tangga 54,6 juta (92,7 persen), bisnis 2,6 juta (4,5 persen) dan sosial 1,3 juta (2,2 persen).
"Pelanggan di sektor bisnis harus digenjot, karena potensinya amat besar. Saat ini industri besar membuat pembangkit sendiri," kata Edi.
Total penjualan listrik 216,4 TWh, sebagian besar untuk rumah tangga (42 persen), industri (35 persen), dan bisnis (16 persen).
Konsumsi listrik Indonesia 0,786 MWh/kapita masih rendah, bila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, hampir sama dengan India yang memperlihatkan kenaikan signifikan.
Tingkat konsumsi di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan China (4 MWh/kapita) yang gencar memacu industri, atau dibandingkan rerata dunia (3 MWh/kapita) dan negara-negara maju (9 MWh/kapita).
"Hal itu disebabkan kondisi fisik negara kepulauan serta banyak daerah yang masih terisolasi, sehingga grid interkoneksi di Indonesia sulit terbentuk," kata Edi.
Edi melihat belum saatnya PLN melakukan unbundling (pemisahan proses bisnis) demi menjaga pasokan dan harga terjangkau konsumen.
Privatisasi energi listrik juga berisiko besar karena menyerahkan distribusi dan harga kepada mekanisme pasar bebas.
Ia menyarankan yang penting, PLN fokus pada pembangunan infrastruktur jaringan transmisi sebagai tulang punggung untuk interkoneksi.
"Perlu dipertimbangkan untuk membagi PLN berdasarkan wilayah operasi, seperti di Jepang di bagi dua wilayah pengelolaan listrik," katanya.
Selain diskusi, CSDS juga melakukan kajian intensif terhadap masalah energi nasional, termasuk kelistrikan.
Langkah korporasi
Peneliti Senior dan Sekretaris CSDS Uray M. Dani menyimpulkan PLN sebagai BUMN kelistrikan perlu segera melakukan langkah-langkah korporasi untuk mengatasi masalah akut.
Masalah itu, yaitu upaya peningkatan pemanfaatan listrik oleh pengguna untuk meningkatkan produktifitas dan diversifikasi sumber energi, peningkatan efisiensi, dan tata kelola korporasi yang baik (good corporate governance).
Pemerintah harus mengambil kebijakan berani untuk mengantisipasi eskalasi masalah keekonomian kelistrikan di masa datang.
"Kebijakan terkait dengan `supply-demand side management` wajib dievaluasi agar kegiatan usaha kelistrikan dapat tumbuh dengan sehat, termasuk perluasan opsi-opsi kontrak penyediaan kelistrikan di antara para pelaku usaha di bidang ini," katanya.
Kelistrikan merupakan salah satu cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Oleh sebab itu, langkah-langkah untuk menyehatkan kelistrikan nasional perlu tetap berpegang pada konstitusi, tidak sebatas meningkatkan ketahanan energi nasional, namun juga dalam bingkai peningkatan kemandirian, keadilan dan kedaulatan bangsa.
"Bila PLN terancam bangkrut, maka dampaknya pada keuangan negara dan sistem kelistrikan negara. Selanjutnya mengancam ketahanan energi nasional," demikian Mukhtasor.
Pemerintah-DPR Perlu Cari Solusi Kelistrikan Nasional
Kamis, 14 Desember 2017 22:16 WIB
PLN terancam gagal membayar kewajiban utang korporasi karena pendapatan terus menurun, sementara belanja modal meningkat.