Jakarta (ANTARA) - Dalam pusaran zaman yang kian kompleks, saat peradaban manusia menghadapi gelombang krisis ekologis, ketimpangan sosial, dan peningkatan gangguan kesehatan mental, cinta kasih (compassion) bukan lagi sekadar nilai moral yang diajarkan di mimbar-mimbar agama atau ruang kelas filsafat.
Compassion adalah terapi multidimensional yang terbukti secara ilmiah dapat memperbaiki kualitas hidup manusia, baik dari aspek biologis, psikologis, hingga sosiokultural.
Dalam sejarah filsafat, manusia selalu mencari makna hidup dan keseimbangan eksistensial. Aristoteles menyebut kebahagiaan (eudaimonia) sebagai tujuan tertinggi manusia, dan salah satu jalannya adalah melalui hubungan sosial yang harmonis.
Filsafat Timur juga menekankan pentingnya cinta kasih sebagai inti kebijaksanaan hidup: Konfusius mengajarkan konsep ren (kemanusiaan yang penuh kasih), sementara ajaran Buddha menekankan metta (cinta kasih universal) sebagai esensi pembebasan dari penderitaan.
Dunia sains telah membuktikan bahwa cinta kasih bukan hanya konsep idealis, tetapi memiliki dampak biologis yang nyata. Dari perspektif biologi molekuler, ekspresi genetik seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan emosional dan sosialnya.
Secara imunologis, cinta kasih terbukti meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Penelitian yang dilakukan oleh Kiecolt-Glaser et al. menunjukkan bahwa individu yang memiliki hubungan sosial positif memiliki tingkat Natural Killer (NK) cells --sel yang berperan dalam melawan kanker dan infeksi virus-- yang lebih tinggi. Sebaliknya, stres kronis dan isolasi sosial meningkatkan kadar kortisol, hormon stres yang dapat menekan fungsi imun dan memicu berbagai penyakit kronis.
Dari sudut pandang neurosains, praktik cinta kasih terbukti dapat mengubah struktur otak. Meditasi berbasis cinta kasih (loving-kindness meditation) dapat meningkatkan aktivitas di korteks cingulate anterior dan insula —area otak yang berkaitan dengan empati dan regulasi emosi.
Paradigma kesehatan modern kini semakin bergeser dari pendekatan biomedis reduksionis menuju pendekatan holistik yang mengakui hubungan erat antara tubuh, pikiran, dan interaksi sosial. Cinta kasih memainkan peran penting dalam paradigma ini.
Kehangatan dan empati dari tenaga medis dan keluarga tidak hanya memberikan ketenangan batin, tetapi juga meningkatkan respons imun pasien terhadap pengobatan. Ini menunjukkan bahwa terapi cinta kasih bukan hanya aspek tambahan dalam perawatan kesehatan, tetapi esensi dari penyembuhan yang sesungguhnya.
Dalam pendidikan, integrasi prinsip cinta kasih dalam kurikulum telah terbukti meningkatkan kesejahteraan psikologis siswa, memperbaiki keterampilan sosial mereka, serta mengurangi tingkat perundungan (bullying). Di Jepang, misalnya, program pendidikan berbasis empati telah diterapkan secara luas dan terbukti meningkatkan harmoni sosial serta keterampilan interpersonal siswa.
Sudah saatnya kita tidak lagi menganggap cinta kasih sebagai sekadar konsep moral atau spiritual, melainkan sebagai elemen fundamental dalam kebijakan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan sosial.
Dalam dunia yang kian rapuh oleh krisis dan ketegangan, cinta kasih bukan hanya solusi, melainkan prasyarat bagi keberlangsungan hidup umat manusia.
*) Dokter Dito Anurogo MSc PhD, alumnus IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, dosen tetap di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar Indonesia, peneliti Institut Molekul Indonesia
Baca juga: Guru Besar UI soroti tantangan terapi kanker
Baca juga: Daewoong pelopor terapi sel punca di Indonesia