Jakarta (ANTARA) - Era dominasi perusahaan teknologi raksasa Amerika Serikat, yang selama dua dekade terakhir menjadi penggerak utama inovasi global, mulai menunjukkan tanda-tanda antiklimaks.
Fenomena ini bukan sekadar akibat dari siklus bisnis alami atau persaingan global yang sehat, melainkan hasil dari kombinasi kebijakan proteksionis yang tidak biasa dan regulasi domestik yang dianggap menghambat inovasi.
Ketua Komite Tetap AI Asosiasi Pengusaha Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Aptiknas), Karim Taslim, menilai kebijakan tarif dan cukai yang diterapkan selama masa pemerintahan Donald Trump di AS menjadi salah satu pemicu utama terjadinya gesekan dengan mitra dagang tradisional seperti Eropa dan Kanada.
Di saat yang sama, menurut Karim yang juga Founder Indonesia AI Innovation Challenge dan COO - PT. Terre Tech Nusantara itu, negara lain seperti Tiongkok memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat dominasi mereka, terutama di bidang kecerdasan buatan (AI).
Perkembangan AI di Tiongkok melaju pesat, meninggalkan Amerika yang terhambat oleh regulasi ketat terkait privasi, hak asasi manusia, dan kekayaan intelektual.
Di satu sisi, regulasi tersebut memang penting untuk melindungi hak-hak individu, tetapi di sisi lain, mereka menjadi penghalang bagi inovasi yang cepat dan adaptif.
Tiongkok, dengan pendekatan yang lebih longgar terhadap regulasi semacam ini, mampu mengembangkan teknologi AI yang lebih agresif dan kompetitif di pasar global.
Tanda-tanda keretakan dominasi teknologi Amerika mulai terlihat semakin nyata ketika insiden serius terjadi pada 1 Februari 2025.
Di Indonesia, Google, sebagai simbol kekuatan teknologi Amerika, sempat mengalami kegagalan fatal dalam menampilkan kurs USD/IDR yang akurat.
Insiden ini diyakini banyak pihak, bukan semata soal kesalahan teknis, tetapi mencerminkan kerentanan sistem yang selama ini dianggap tak tergoyahkan.
Kepercayaan publik terhadap algoritma dan metode pencarian Google mulai terkikis, mendorong sebagian pengguna beralih ke aplikasi generatif AI yang menawarkan hasil lebih akurat dan personal.
Di belahan dunia lain, Tiongkok menunjukkan kekuatan mereka dalam menghadapi serangan siber besar-besaran yang diduga datang dari arah pentagon pada pekan lalu.
Serangan DDoS yang dilancarkan pada dini hari dengan frekuensi mencapai 800.000 permintaan per detik bertujuan melumpuhkan infrastruktur jaringan penting Tiongkok.
Namun, respons cepat dari perusahaan-perusahaan teknologi seperti Huawei, 360, dan komunitas hacker patriotik berhasil menggagalkan serangan tersebut.
Mereka tidak hanya mempertahankan sistem, tetapi juga melakukan serangan balik simbolis yang memperlihatkan kecanggihan dan kesiapan mereka dalam perang siber.
Kisah pertempuran siber ini menjadi simbol kebangkitan Tiongkok dalam mempertahankan kedaulatan digital mereka. Dalam 96 jam yang penuh ketegangan, para insinyur dan teknisi Tiongkok menunjukkan ketangguhan luar biasa.
Indonesia harus menyadari bahwa ketergantungan berlebihan pada teknologi asing dapat menjadi titik lemah yang berbahaya. Insiden yang menimpa Google menunjukkan betapa rapuhnya sistem yang tampak kuat di permukaan.
Ini adalah momen bagi Indonesia untuk memperkuat infrastruktur teknologi domestik, meningkatkan investasi dalam penelitian dan pengembangan AI, serta membangun sistem keamanan siber yang tangguh.
Baca juga: Italia tutup akses ke DeepSeek aplikasi AI asal China karena masalah privasi
Baca juga: Perang AI ChatGPT lawan DeepSeek dan peluang ekonomi bagi Indonesia
Baca juga: Dewan Pers luncurkan pedoman resmi penggunaan AI untuk proses produksi karya jurnalistik