Sanur, Bali, 3/11 (ANTARA) - Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia (Perdossi) Prof Mohammad Hasan Machfoed, SpS (K) mengemukakan, pihaknya akan melakukan orientasi program menemukan insiden prevalensi penyakit demensia (kepikunan) pada masyarakat di Indonesia.
"Kalau di luar negeri (angka prevalensinya) langsung bisa diketahui karena datanya ada, sedangkan kalau di kita (Indonesia) tidak. Angka (di Indonesia) cukup tinggi, namun jumlah pastinya secara resmi belum ada," katanya kepada ANTARA di sela-sela konferensi ASEAN Neurological Association (ASNA) 2011 di Sanur, Bali, Kamis sore.
ASNA adalah forum dua tahunan para dokter ahli syaraf di Asia Tenggara, sebagai ajang komunikasi dan pertukaran pengetahuan di kalangan dokter ahli saraf se-Asia Tenggara (ASEAN).
Meski untuk prevalensi demensia di Indonesia belum ada angka resmi, namun Mohammad Hasan Machfoed memprakirakan angkanya di kisaran lima hingga tujuh persen.
Hitungan angka yang diprakirakan itu, kata dia, berapa penduduk Indonesia, berapa yang usianya tua (lanjut usia), dan dari yang tua itu berapa yang mengalami demensia.
"Kalau saya bisa sebutkan kira-kira 80 persen dari demensia, jadi kalau diambil dari yang pikun itu (jumlahnya) cukup tinggi," kata guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) kelahiran Madura, Jawa Timur, itu.
Dikemukakannya bahwa di Indonesia, demensia itu makin banyak karena yang pertama, dari aspek usia.
"Demensia menjadi penting karena usia harapan hidup itu makin lama makin tinggi, sedangkan demensia itu penyakitnya orang tua bukan anak-anak, dengan demikian dengan kondisi tersebut maka timbul kelainan yang disebut demensia,".
"Nah, nanti polanya akan ke sana, justru mungkin akan terbanyak, karena apa, penyakit-penyakit yang sifatnya degeneratif itu, salah satunya adalah demensia ini," tambahnya.
Sementara itu, salah satu peserta konferensi ASNA 2011, yakni ahli penyakit syaraf Indonesia dr Andreas Harry, SpS (K) menyatakan bahwa konferensi dokter ahli syaraf dunia tentang penyakit Alzheimer yang berlangsung di Paris, Prancis pada Juli 2011 memperkirakan bahwa penderita demensia (kepikunan) di negara-negara berkembang akan meningkat dramatis.
"Di negara-negara berkembang, jumlah penderita demensia akan meningkat lebih dramatis selama dekade berikutnya, diperkirakan tiga sampai kali lipat lebih tinggi daripada di negara maju," kata Andreas Harry, yang juga dosen pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta.
Andreas Harry menambahkan bahwa secara epidemiologi, di Amerika Serikat maupun Eropa, prevalensi maksimal penderita demensia pada usia lanjut (demensia senilis) sebesar lima persen pada populasi yang berusia lebih 65 tahun.
Persentase ini, kata dia, meningkat menjadi 20 persen pada populasi yang berusia lebih 80 tahun. "Penyakit Alzheimer diperkirakan sebesar 60 persen dari seluruh penderita demensia," katanya menambahkan.
Ia mengemukakan bahwa berdasarkan penelitian epidemiologi di Amerika Serikat, prevalensi penyakit Alzheimer sebesar tiga persen pada populasi berusia 60-74 tahun, 18,7 persen pada populasi berusia 75-84 tahun, dan 47,2 persen pada populasi berusia lebih dari 85 tahun.
"Sehingga diperkirakan pada tahun 2040 terdapat 14 juta penderita Alzheimer dan akan menjadi penyebab kematian nomor 4 di Amerika Serikat," kata dosen luar biasa Fakultas Kedokteran Universitas Hassanudin (Unhas) Makassar 1996-2001 itu.
Sedangkan Ketua Umum Perdossi Mohammad Hasan Machfoed, saat ditanya apakah sudah ada upaya untuk bisa menghambat cepatnya laju demensia, ia mengatakan bahwa sejauh ini, masih cukup banyak kemajuan dalam pencegahannya.
"Tapi paling tidak faktor-faktor risiko terjadinya demensia itu yang harus kita tanggulangi," katanya menegaskan.
Contohnya, menurut dia, adalah penyakit-penyakit yang sifatnya degeneratif seperti hieprtensi, diabetes, dan juga "life style" yang bisa menjadi pemicunya.
"Kadang-kadang manusia sekarang suka berkompetisi, kalau kalah dia frustasi, nah... rasa frustasi semacam itulah yang memicu, walaupun tidak langsung secara langsung ke demensia," katanya.
Ia merujuk pada kasus-kasus kompetisi pada Pemilu kepala daerah (Pilkada) di sejumlah daerah, di mana akhirnya berujung pada terjadinya frustasi tersebut.
Andi Jauhari