Sejumlah jurnalis yang tergabung di Kelompok Wartawan (Pokwan) Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menggelar Diskusi Rujukan Institute bertajuk "Jurnalisme Bencana".
"Jadi beberapa poin ini yang jadi dasar kenapa kami menggelar diskusi bertema Jurnalisme Bencana Liputan dan Pemberitaan," ujar Ketua Pelaksana Kegiatan Rujukan Institute M Fikri Setiawan di Sekretariat Pokwan Kabupaten Bogor, Senin.
Kegiatan tersebut menghadirkan Ahmad Arif, wartawan Harian Kompas yang juga penulis buku "Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme" sebagai narasumber.
Dalam pemaparannya, Arif menyampaikan pentingnya seorang jurnalis memiliki pengetahuan dan pemahaman yang utuh terhadap daerah rawan bencana serta istilah-istilah yang dipakai dalam informasi kebencanaan.
Dengan pemahaman mendasar itu, kata dia, jurnalis bisa menjaga keselamatan saat liputan dan membuat produk berita dengan pendekatan saintifik untuk mengedukasi masyarakat.
"Bagaimana kita menyampaikan informasi kepada masyarakat, jika kita sendiri tidak memahaminya," ujar dia.
Dengan bekal pengetahuan yang memadai, jurnalis kemudian harus memilih narasumber dari pakar atau mereka yang ahli di bidangnya.
Penjelasan dari ahli tersebut, kata dia, bisa menjadi produk pemberitaan mitigasi bencana. Tujuannya, agar masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana dapat memahami situasi itu dan langkah apa yang harus dilakukan saat bencana tetiba datang melanda.
Akan tetapi, menurut Arif, pemahaman masyarakat Indonesia terhadap mitigasi bencana ini memang masih tergolong rendah.
"Karena itu, peran jurnalis diharapkan bisa meningkatkan pemahaman tersebut dan kemudian masyarakat bisa mengurangi potensi resiko jadi korban bencana," kata dia.
Liputan dan berita
Ahmad Arif menyimpulkan, dua hal yang harus menjadi perhatian jurnalis saat meliput peristiwa kebencanaan. Pertama, soal keselamatan diri sendiri saat berada di lokasi bencana, dan yang berikutnya adalah tidak "menyakiti" perasaan korban bencana dengan tingkah laku saat melakukan wawancara, maupun pemberitaan peristiwa bencana itu sendiri.
"Tentunya, jurnalis dituntut kecepatan dan keakuratan data saat menyampaikan informasi bencana tersebut," kata dia.
Namun, tak jarang untuk "memikat" pembaca, jurnalis malah terjebak pada narasi-narasi irasional. Satu peristiwa kebencanaan kerap kali dibumbui hal-hal mistis. Selain itu, dalam beberapa kasus, ada praktik cemar yang dilakukan segelintir jurnalis yang salah menjelaskan istilah kebencanaan.
Karena kesalahan itu, kemudian berita yang diproduksi malah menimbulkan kepanikan dan berpotensi menambah jumlah kerugian serta beban psikologis yang ditimbulkan.
Masalah lainnya, kata Arif, juga kadang datang dari sikap jurnalis itu sendiri dalam memperlakukan korban sebagai narasumbernya.
"Pertanyaan bagaimana perasaan anda ?, apakah ada firasat sebelumnya ?, masih sering kita temukan," kata dia.
Namun, kata Arif, hal itu tidak sepenuhnya kesalahan jurnalis yang meliput di lokasi bencana. Pertanyaan tersebut, kata dia, kadang memang menjadi "titipan" redaktur media tempat si reporter bekerja.
Untuk menarik minat pembaca, pemberitaan dan juga gambar yang dramatis menjadi salah satu tugas yang diberikan redaktur kepada reporter yang meliput di lapangan.
"Meskipun memang kita harus mengambil sisi-sisi yang humanis, tapi jangan sampai melukai perasaan korban," katanya.
Arif berpendapat, produk jurnalis dalam memberitakan peristiwa bencana mestinya membangun optimisme. Semangat korban untuk bangkit.
Namun, seperti barang dagangan yang cepat laku dijual, pemberitaan peristiwa kebencanaan di Indonesia cenderung mengeksploitasi penderitaan.
"Hal ini membuat pemberitaan kebencanaan di Indonesia beberapa kali disindir oleh media asing," kata dia.
"Terlalu mengeksploitasi penderitaan," Arif menambahkan.
Pemberitaan pascabencana
Tak kalah penting dan sering terlewatkan adalah pemberitaan pasca bencana. Belajar dari beberapa kasus bencana alam yang terjadi di Indonesia, Arif menilai, kita sebagai masyarakat yang cepat lupa.
Demikian juga pemberitaan media yang kadang hanya menyorot saat peristiwa terjadi. Bagaimana kemudian upaya pemulihan dilakukan dianggap tidak menarik lagi.
Karena itu, rekonstruksi dan juga pembangunan lingkungan korban terdampak bencana, sering kali tidak mengambil "pesan" dari bencana yang datang sebelumnya.
Misalnya, gempa Padang yang meruntuhkan banyak bangunan gedung dan berakibat korban tertimpa reruntuhan bangunan.
Menurut Arif yang juga mengenyam pendidikan arsitektur, masyarakat di lokasi rawan gempa harusnya mengambil pelajaran dari akibat gempa dengan mendirikan bangunan tahan gempa. Nyatanya, sedikit yang melakukan itu.
"Kita masih beranggapan membangun bangunan seperti itu sebagai beban, bukan sebagai investasi. Padahal bangunan dengan konstruksi tahan gempa itu bisa meminimalisir resiko," kata dia.
Demikian juga dengan lokasi bencana banjir, longsor dan tsunami. Pada banyak lokasi yang dulunya porak poranda karena dilanda bencana seperti itu, malah menjadi hunian yang hari ini semakin padat penduduknya.
Padahal, meskipun tidak diinginkan, bencana selalu menjadi peristiwa yang berulang. Dengan kata lain, bencana bencana berpotensi terjadi lagi.
"Contohnya gempa Cianjur, itu kan bukan pertama kali terjadi. Pernah terjadi sebelumnya. Bahkan ada dokumen Belanda yang melarang membangun bangunan gedung di beberapa lokasi di Cianjur," kata dia.
Arif berharap, apa yang dia paparkan bisa menjadi wawasan bagi jurnalis dalam liputan dan pemberitaan bencana. Mitigasi atau upaya pencegahan, pemberitaan peristiwa, dan pemberitaan pasca bencana atau rekonstruksi kehidupan harus mengedepankan saintifik agar masyarakat tercerahkan.
"Jadi mari sebagai jurnalis, kita mengambil bagian untuk mengedukasi masyarakat. Untuk hal itu kita memang harus belajar dan terus belajar," tandasnya.
"Jadi beberapa poin ini yang jadi dasar kenapa kami menggelar diskusi bertema Jurnalisme Bencana Liputan dan Pemberitaan," ujar Ketua Pelaksana Kegiatan Rujukan Institute M Fikri Setiawan di Sekretariat Pokwan Kabupaten Bogor, Senin.
Kegiatan tersebut menghadirkan Ahmad Arif, wartawan Harian Kompas yang juga penulis buku "Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme" sebagai narasumber.
Dalam pemaparannya, Arif menyampaikan pentingnya seorang jurnalis memiliki pengetahuan dan pemahaman yang utuh terhadap daerah rawan bencana serta istilah-istilah yang dipakai dalam informasi kebencanaan.
Dengan pemahaman mendasar itu, kata dia, jurnalis bisa menjaga keselamatan saat liputan dan membuat produk berita dengan pendekatan saintifik untuk mengedukasi masyarakat.
"Bagaimana kita menyampaikan informasi kepada masyarakat, jika kita sendiri tidak memahaminya," ujar dia.
Dengan bekal pengetahuan yang memadai, jurnalis kemudian harus memilih narasumber dari pakar atau mereka yang ahli di bidangnya.
Penjelasan dari ahli tersebut, kata dia, bisa menjadi produk pemberitaan mitigasi bencana. Tujuannya, agar masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana dapat memahami situasi itu dan langkah apa yang harus dilakukan saat bencana tetiba datang melanda.
Akan tetapi, menurut Arif, pemahaman masyarakat Indonesia terhadap mitigasi bencana ini memang masih tergolong rendah.
"Karena itu, peran jurnalis diharapkan bisa meningkatkan pemahaman tersebut dan kemudian masyarakat bisa mengurangi potensi resiko jadi korban bencana," kata dia.
Liputan dan berita
Ahmad Arif menyimpulkan, dua hal yang harus menjadi perhatian jurnalis saat meliput peristiwa kebencanaan. Pertama, soal keselamatan diri sendiri saat berada di lokasi bencana, dan yang berikutnya adalah tidak "menyakiti" perasaan korban bencana dengan tingkah laku saat melakukan wawancara, maupun pemberitaan peristiwa bencana itu sendiri.
"Tentunya, jurnalis dituntut kecepatan dan keakuratan data saat menyampaikan informasi bencana tersebut," kata dia.
Namun, tak jarang untuk "memikat" pembaca, jurnalis malah terjebak pada narasi-narasi irasional. Satu peristiwa kebencanaan kerap kali dibumbui hal-hal mistis. Selain itu, dalam beberapa kasus, ada praktik cemar yang dilakukan segelintir jurnalis yang salah menjelaskan istilah kebencanaan.
Karena kesalahan itu, kemudian berita yang diproduksi malah menimbulkan kepanikan dan berpotensi menambah jumlah kerugian serta beban psikologis yang ditimbulkan.
Masalah lainnya, kata Arif, juga kadang datang dari sikap jurnalis itu sendiri dalam memperlakukan korban sebagai narasumbernya.
"Pertanyaan bagaimana perasaan anda ?, apakah ada firasat sebelumnya ?, masih sering kita temukan," kata dia.
Namun, kata Arif, hal itu tidak sepenuhnya kesalahan jurnalis yang meliput di lokasi bencana. Pertanyaan tersebut, kata dia, kadang memang menjadi "titipan" redaktur media tempat si reporter bekerja.
Untuk menarik minat pembaca, pemberitaan dan juga gambar yang dramatis menjadi salah satu tugas yang diberikan redaktur kepada reporter yang meliput di lapangan.
"Meskipun memang kita harus mengambil sisi-sisi yang humanis, tapi jangan sampai melukai perasaan korban," katanya.
Arif berpendapat, produk jurnalis dalam memberitakan peristiwa bencana mestinya membangun optimisme. Semangat korban untuk bangkit.
Namun, seperti barang dagangan yang cepat laku dijual, pemberitaan peristiwa kebencanaan di Indonesia cenderung mengeksploitasi penderitaan.
"Hal ini membuat pemberitaan kebencanaan di Indonesia beberapa kali disindir oleh media asing," kata dia.
"Terlalu mengeksploitasi penderitaan," Arif menambahkan.
Pemberitaan pascabencana
Tak kalah penting dan sering terlewatkan adalah pemberitaan pasca bencana. Belajar dari beberapa kasus bencana alam yang terjadi di Indonesia, Arif menilai, kita sebagai masyarakat yang cepat lupa.
Demikian juga pemberitaan media yang kadang hanya menyorot saat peristiwa terjadi. Bagaimana kemudian upaya pemulihan dilakukan dianggap tidak menarik lagi.
Karena itu, rekonstruksi dan juga pembangunan lingkungan korban terdampak bencana, sering kali tidak mengambil "pesan" dari bencana yang datang sebelumnya.
Misalnya, gempa Padang yang meruntuhkan banyak bangunan gedung dan berakibat korban tertimpa reruntuhan bangunan.
Menurut Arif yang juga mengenyam pendidikan arsitektur, masyarakat di lokasi rawan gempa harusnya mengambil pelajaran dari akibat gempa dengan mendirikan bangunan tahan gempa. Nyatanya, sedikit yang melakukan itu.
"Kita masih beranggapan membangun bangunan seperti itu sebagai beban, bukan sebagai investasi. Padahal bangunan dengan konstruksi tahan gempa itu bisa meminimalisir resiko," kata dia.
Demikian juga dengan lokasi bencana banjir, longsor dan tsunami. Pada banyak lokasi yang dulunya porak poranda karena dilanda bencana seperti itu, malah menjadi hunian yang hari ini semakin padat penduduknya.
Padahal, meskipun tidak diinginkan, bencana selalu menjadi peristiwa yang berulang. Dengan kata lain, bencana bencana berpotensi terjadi lagi.
"Contohnya gempa Cianjur, itu kan bukan pertama kali terjadi. Pernah terjadi sebelumnya. Bahkan ada dokumen Belanda yang melarang membangun bangunan gedung di beberapa lokasi di Cianjur," kata dia.
Arif berharap, apa yang dia paparkan bisa menjadi wawasan bagi jurnalis dalam liputan dan pemberitaan bencana. Mitigasi atau upaya pencegahan, pemberitaan peristiwa, dan pemberitaan pasca bencana atau rekonstruksi kehidupan harus mengedepankan saintifik agar masyarakat tercerahkan.
"Jadi mari sebagai jurnalis, kita mengambil bagian untuk mengedukasi masyarakat. Untuk hal itu kita memang harus belajar dan terus belajar," tandasnya.