Jakarta (Antara Megapolitan) - Pengamat Koperasi Suroto menilai cara berkoperasi masyarakat di Indonesia masih keliru, khususnya terkait cara pandang dalam berkoperasi yang seharusnya menekankan konsep basis perkumpulan orang atau "people-based association".
"Ada yang salah dengan paradigma berkoperasi kita selama ini. Sumbernya adalah tidak dipahaminya koperasi dalam konsep sebagai basis perkumpulan orang," kata Suroto yang juga Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses) di Jakarta, Kamis.
Ia mencontohkan di Indonesia, koperasi hanya boleh didirikan oleh minimal 20 orang, padahal koperasi sebagai perkumpulan orang sebetulnya bisa didirikan oleh tiga atau bahkan ekstrimnya hanya dua orang.
Menurut dia, kesalahan cara pandang ini bahkan dikukuhkan melalui undang-undang yakni sesuai UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, untuk mendirikan koperasi disyaratkan harus ada minimal sebanyak 20 orang.
"Sementara di negara yang perkoperasiannya maju koperasi dapat didirikan oleh 3 orang," katanya.
Hal ini, kata dia, juga diatur dalam guidance koperasi yang diterbitkan oleh gerakan koperasi dunia International Co-operative Alliance (ICA).
Ia berpendapat, paradigma yang dibentuk oleh UU Perkoperasian yang ada itu, koperasi harus didirikan oleh sebuah "critical mass" yang dianalogikan dengan konsep koperasi konsumen atau koperasi simpan pinjam atau Koperasi Kredit.
"Ini salah satu yang membuat koperasi kita tidak berkembang. Bisnis koperasi pada akhirnya hanya berkembang di sektor simpan pinjam dan sektor konsumen. Di sektor lain koperasi nihil," katanya.
Konsekuensinya, kata dia, orang-orang berbisnis di sektor produksi misalnya terpaksa harus memilih badan hukum lain seperti perseroan.
Kesalahan paradigma ini juga membuat masyarakat dan terutama anak-anak muda tidak suka berkoperasi.
Padahal secara sistem sebetulnya koperasi memiliki keunggulan dibanding dengan model usaha lainnya.
"Potensinya sangat besar untuk dikembangkan oleh para pebisnis pemula. Terutama untuk usaha ekonomi kreatif. Sebab setiap orang dijamin persamaannya. Baik yang punya modal atau yang punya gagasan bisnis. Tidak seperti sistem bisnis konvensional yang selalu menempatkan orang yang punya ide kalah oleh mereka yang punya modal," katanya.
Suroto berharap ketentuan itu bisa ditinjau kembali atau dievaluasi agar ke depan tidak menghalau langkah dan perkembangan koperasi dalam rangka menyejahterakan masyarakat di Indonesia.