Bogor, 13/4 (ANTARA) - Indonesia bersama Kolombia menjadi "pilot testing" (uji coba) indikator berkelanjutan, yang disusun organisasi antarbangsa Global Bioenergy Partnership (GPEB).
"GPEB bertugas untuk mempromosikan dan menyebarluaskan produksi bioenergi yang berkelanjutan," kata Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Maritje Hutapea di Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/4).
Indikator berkelanjutan bioenergi tersebut terdiri atas tiga pilar, yakni lingkungan, sosial dan ekonomi, katanya usai pembukaan lokakarya bertema "Sustainability Indicators Assessment For Palm Oil Biodiesel", yang dihadiri FAO Representatives Dr Jonathan Reeves dan Kepala Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi Institut Pertanian Bogor Prof Erliza Hambali.
Ia menjelaskan, pada 2006 sebanyak 10 negara dan tujuh organisasi antarbangsa menandatangani kerangka acuan untuk membentuk GBEP dan melaksanakan aksi untuk mendukung penyebaran biomassa dan biofuel, khususnya di negara berkembang.
GPEB, katanya, dibentuk untuk mempromosikan dan menyebarluaskan penggunaan bioenergi di negara berkembang sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Lokakarya yang diselenggarakan ESDM bekerja sama dengan Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi IPB yang telah ditunjuk organisasi pangan PBB FAO itu, bertujuan untuk membahas lebih dalam tentang indikator keberlanjutan biodiesel minyak sawit, baik ditinjau dari aspek lingkungan, sosial maupun ekonomi.
Lokakarya kali ini diikuti 46 negara.
"Itu dilakukan untuk menjawab tantangan pengembangan minyak sawit di Indonesia karena minyak sawit merupakan salah satu penyumbang devisa yang besar," katanya.
Di samping itu, juga membahas metodologi pengukuran indikator dan mendapatkan masukan dari para narasumber serta mendiskusikan hal-hal lebih lanjut, yang terkait aspek keberlanjutan biodiesel dari minyak sawit, sehingga hasilnya benar-benar dapat mewakili realitas tentang isu berkelanjutan bioenergi Indonesia.
24 indikator
Sementara itu, Project Leader Technical Officer FAO Roma, Jonathan Reeves menambahkan bahwa proyek percontohan itu akan melakukan pengukuran 24 indikator yang dikelompokan dalam tiga pilar yaitu lingkungan, sosial dan ekonomi.
Namun, kata dia, pengukuran indikator untuk Indonesia akan disesuaikan dengan ketersediaan data.
Ke-24 indikator dimaksud, kata dia, dilahirkan selama tiga tahun, dengan konsensus antarpemerintah dan mitra lain di bidang energi berkelanjutan.
"Jadi, indikator tersebut bukan menurut ukuran Eropa atau lainnya, namun menjadi kesepakatan global berbagai negara," katanya menegaskan.
Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi IPB Erliza Hambali, yang juga konsultan FAO untuk program tersebut merinci 24 indikator dimaksud.
Indikator itu, yakni siklus emisi gas rumah kaca, kualitas tanah, tingkat pemanenan sumber kayu, emisi gas rumah kaca non-polusi udara, termasuk racun udara, penggunaan air dan efisiensi, kualitas air, keanekaragaman hayati, dan penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan yang berkaitan dengan produksi bahan baku bioenergi.
Kemudian, alokasi dan kepemilikan lahan untuk produksi bioenergi, harga dan pasokan pangan nasional, perubahan pendapatan, lapangan pekerjaan di sektor bioenergi, perubahan pendapatan/upah yang hilang/terhapus akibat perubahan dari penggunaan biomassa secara tradisional menjadi penggunaan untuk bioenergi, jumlah persentase rumah tangga dan bisnis yang menggunakan bioenergi dikelompokkan ke dalam bioenergi dan penggunaan biomassa secara tradisional, risiko kematian atau penyakit asap dapur sebelum dan setelah menggunakan bioenergi, serta insiden kerja, penyakit cedera dan kematian.
Selanjutnya, produktivitas bahan bioenergi, efisiensi dan biaya produksi bioenergi, keseimbangan penggunaan energi dalam memproduksi bioenergi, perubahan konsumsi bahan bakar fosil dan penggunaan tradisional biomassa, jumlah pekerja terlatih yang terlibat dalam sektor bioenergi dan yang tersingkir karena tidak masuk kualifikasi yang tidak diperlukan untuk sektor bioenergi, keragaman pasokan energi primer karena pengembangan bioenergi, infrastruktur dan logistik untuk distribusi bioenergi, serta kapasitas dan fleksibilitas penggunaan bioenergi.