Jakarta (ANTARA) - Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selama 9 tahun terakhir dinilai cukup signifikan memperkuat literasi dan inklusi keuangan masyarakat Indonesia, sehingga diyakini memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.
Hal tersebut dikatakan oleh Ekonom Policy Center Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Fakhrul Fulvian dalam Forum Diskusi Salemba Policy Center ILUNI UI dengan tema "9 Tahun Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Menjaga Inklusi Jasa Keuangan Indonesia", di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan kenaikan ini terlihat dari sejumlah indikator di berbagai instrumen investasi. Dia mencontohkan, sejak beberapa tahun terakhir, investor dalam negeri yang membeli saham dan obligasi meningkat.
Baca juga: OJK membagikan tips kelola uang untuk milenial hadapi pandemi
Beberapa program literasi dan inklusi keuangan OJK yang cukup menyentuh lapisan masyarakat yang sebelumnya belum terakses sistem keuangan, antara lain Layanan Keuangan Bank Tanpa Kantor Laku Pandai dan Yuk Nabung Saham, serta sejumlah kegiatan edukasi jasa keuangan.
Literasi dan inklusi keuangan terbukti juga mendorong peningkatan investor domestik di pasar saham juga menjadikan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tidak lagi bergantung kepada investor asing. Porsi investor lokal di pasar keuangan sekitar 61 persen.
"Dulu setiap investor asing keluar, Rupiah selalu melemah dan IHSG juga akan melemah. Namun, saat ini ini tidak lagi," jelas Fakhrul Fulvian, Forum Diskusi Salemba Policy Center ILUNI UI dengan tema "9 Tahun Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Menjaga Inklusi Jasa Keuangan Indonesia".
Baca juga: Tips kelola uang bagi milenial ala OJK pada masa pandemi
Sementara itu Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan indeks literasi dan inklusi keuangan di Indonesia memang meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Mengutip Survei OJK, dia menyebutkan literasi keuangan Indonesia naik dari 21 persen tahun 2013 menjadi 40 persen tahun 2020. Meski naik, dia mengatakan potensi untuk meningkatkan peran sektor jasa keuangan bagi perekonomian masih sangat besar.
"Ini masih membutuhkan perjuangan panjang lebih dari setengah masyarakat Indonesia belum memahami sektor keuangan dengan benar. Banyaknya masyarakat yang belum terliterasi ini menjadi peluang bagi pelaku investasi bodong," jelas Eko.
Baca juga: Pengamat: Perlu kepastian aturan main restrukturisasi kredit UMKM
Dari sisi produk, paparnya, literasi keuangan juga masih dipimpin oleh perbankan, yaitu naik dari 28,9 persen tahun 2016 menjadi 36,12 persen tahun 2020, asuransi naik dari 15,8 persen menjadi 19,40 persen, dana pensiun naik dari 10,9 persen menjadi 14,13 persen.
Kemudian, pasar modal naik dari 4,4 persen menjadi 4,92 persen, lembaga pembiayaan naik dari 13 persen menjadi 15,17 persen, pegadaian dari 17,8 persen menjadi 17,81 persen dan lembaga keuangan mikro meningkat dari nol menjadi 0,82 persen.
Berdasarkan provinsi, tertinggi masih di DKI Jakarta naik dari 59,16 persen menjadi 94,76 persen selama periode yang sama. Di Bali naik dari 38,06 persen menjadi 92,91 persen. Namun, di beberapa provinsi masih relatif rendah, seperti di Papua dan Papua Barat.
"Sementara itu, capaian inklusi keuangan sudah relatif lebih baik, yaitu lebih dari 75 persen masyarakat Indonesia sudah terhubung dengan sektor keuangan. Ini sebuah capaian yang bagus, tetapi bicara dampaknya masih banyak tantangannya," paparnya.
Dia menambahkan meskipun terus meningkat, indeks inklusi keuangan Indonesia masih di bawah Thailand yang mencapai 76 persen, Thailand 82 persen dan Malaysia 85 persen. Kondisi ini menjadi tantangan sekaligus menunjukkan potensi peran sektor jasa keuangan terhadap perekonomian masih sangat besar.
"Perlu upaya akselerasi dan optimalisasi dari inklusi keuangan. Tidak hanya melihat dari target dan progres ada peningkatannya. Namun, jika melihat dampak ke hilir, yaitu pengaruhnya mendorong pertumbuhan ekonomi," demikian Eko.