Jakarta, (Antaranews Bogor) - Optimalisasi APBN-Perubahan 2015 menjadi keharusan yang dapat dijadikan titik tolak mewujudkan kebangkitan pembangunan maritim di Indonesia, demikian simpulan yang dihasilkan dalam diskusi publik.
Simpulan itu mencuat dalam diskusi publik yang digelar Sekolah Tinggi Terpadu Nurul Fikri (STT-NF) di Jakarta, demikian keterangan Humas perguruan tinggi itu Rifat di Jakarta, Minggu.
Ia menjelaskan diskusi bertema "APBN 2015 dan Program Kesejahteraan Rakyat" yang dilaksanakan pada Sabtu (17/1) itu menghadirkan pembicara utama peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu RI Dr Hidayat Amir, Tenaga Ahli Kemensos untuk program perlindungan sosial Ahmad Dzakirin, dan Pembantu Ketua IV Sekolah Tinggi Terpadu Nurul Fikri (STT-NF) Drs Sapto Waluyo, M.Sc
Selain kebangkitan maritim, diskusi itu juga menyepakati pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo harus mengoptimalkan APBN 2015 sebagai titik tolak mewujudkan sektor unggulan lain, yakni kedaulatan pangan dan energi.
Di samping itu, juga meningkatkan kualitas pembangunan manusia di sektor pendidikan, kesehatan dan perumahan.
Menurut Hidayat Amir, anggaran belanja saat ini Rp2.039,5 triliun (meningkat 8,7 persen dari APBNP 2014), sedang pendapatan Rp1.793,6 triliun (meningkat 9,7 persen), di mana itu berarti ada defisit Rp245,9 triliun (2,21 persen dari produk domestik bruto/PDB).
"Namun, apakah realisasi belanja benar-benar dimanfaatkan untuk sektor unggulan? Itulah tantangan kita bersama," kata Hidayat, alumni Queensland University, Australia.
Sejak 2008-2013, katanya, terjadi kelebihan pembiayaan yang cukup besar (Rp25,7 triliun), termasuk dari utang.
"Apakah pembiayaan itu digunakan untuk sektor produktif seperti pembangunan infrastruktur, kemajuan pendidikan/teknologi atau program kesejahteraan rakyat? Atau terpakai untuk belanja nonmodal (gaji pegawai dan inventaris negara)? Semua harus dikontrol," katanya.
Ia mengatakan pembangunan infrastruktur dan pendidikan akan memacu pertumbuhan, sementara program kesejahteraan akan memperkecil kesenjangan antarwarga (kaya-miskin) dan antarwilayah (Indonesia barat-timur).
Sementara itu, Tenaga Ahli Kemensos untuk program perlindungan sosial Ahmad Dzakirin, sepakat perlunya fokus anggaran.
Saat ini, katanya, sektor pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan merupakan sektor unggulan dengan diperkenalkannya program Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Dana yang disiapkan untuk program dimaksud sangat besar dengan target jutaan penduduk, terutama warga miskin dan rentan.
"Semua itu perlu dikawal dengan melibatkan partisipasi masyarakat," katanya.
Ia merinci realisasi belanja APBN 2013 untuk kesehatan Rp55,9 triliun, pendidikan Rp336,8 triliun dan penanggulangan kemiskinan Rp115,5 triliun.
Sementara itu program KIP mencakup 19 juta siswa (Rp4,4 triliun), KIS mencakup 86,4 juta (Rp19,9 triliun) dan KKS mencakup 17,2 rumah tangga (Rp19,1 triliun).
Ada lagi Program Simpanan Keluarga Sejahtera (pengganti Bantuan Langsung Sementara Masyarakat/BLSM) yang meng-"cover" 15,5 juta (Rp6,2 triliun).
Sedangkan Pembantu Ketua IV STT-NF Drs Sapto Waluyo, M.Sc menyatakan penggunaan teknologi mutlak diperlukan demi suksesnya program kesejahteraan terpadu.
"Untuk melayani jutaan warga dan menyalurkan dana triliunan rupiah, maka perlu data terintegrasi. Idealnya, semua program termaktub dalam satu kartu tapi berisi berbagai layanan. Data penerima harus diverifikasi dan `updating` setiap saat," katanya.
Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2014-2019, katanya, pemanfaatan Iptek untuk meningkatkan pembangunan harus diikuti peningkatan kapasitas SDM.
"Para pelaksana program kesejahteraan juga perlu menguasai TIK (Teknologi Informasi Komunikasi) agar realisasi dan evaluasi berjalan efektif," katanya.
Dalam kesempatan itu Hidayat Amir mendukung optimalisasi TIK, bahkan menyatakan TIK dapat meningkatkan pendapatan negara, misalnya lewat pajak (E-Tax).
Optimalisasi APBN-P 2015 dapat wujudkan kebangkitan maritim
Senin, 19 Januari 2015 14:14 WIB
"Semua itu perlu dikawal dengan melibatkan partisipasi masyarakat,"