Penantian panjang warga Jakarta pada keberlanjutan megaproyek monorel yang sempat mangkrak sejak 2008 tampaknya akan segera berakhir jika apa yang disampaikan Ketua dan Pendiri Ortus Holdings Limited Edward S. Soeryadjaya Agustus lalu terlaksana.
Ketika itu, menurut laporan media nasional, Edward mengatakan pengerahan alat-alat berat yang menandai dimulainya pembangunan megaproyek monorel Kota Jakarta ini akan dilakukan pada 16 Oktober 2013.
Sinyal pendiri Ortus yang merupakan investor utama PT Jakarta Monorel terkait pelaksanaan "ground breaking" konstruksi proyek monorel Jakarta Eco Transport (JET) pada 16 Oktober itu memunculkan secercah harapan di tengah kemacetan lalu lintas ibu kota yang akut dan bahkan dikhawatirkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo akan semakin parah setelah kehadiran mobil murah.
Kekhawatiran gubernur yang akrab dipanggil Jokowi dan banyak pihak tentang kemacetan Jakarta yang semakin parah ini beralasan dilihat dari jumlah warga yang masuk dan keluar Jakarta per harinya yang mencapai 20,7 juta jiwa serta persentase kenaikan jumlah kendaraan per tahunnya yang mencapai 11 persen.
Karena itu, harapan baru yang muncul dari kehadiran monorel itu bak oase bagi penduduk ibu kota dan jutaan warga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang bekerja dan beraktivitas di Jakarta karena mereka akan memiliki pilihan moda transportasi cepat dan nyaman baru selain KRL komuter dan bus Transjakarta.
Karpet hijau bagi PT Jakarta Monorail dan Ortus Holdings Ltd untuk memulai pembangunan monorel ini terbentang setelah Gubernur Joko Widodo bersama pihak Ortus dan PT Jakarta Monorail menandatangani surat Tindak Lanjut Pembangunan dan Penyelenggaraan Monorel Jakarta pada 26 Juni lalu.
Dengan berbekal izin tersebut, Jokowi, seperti dikutip pernyataan pers PT Jakarta Monorail, berharap ibu kota sudah akan mempunyai sistem Mass Transit berbentuk kereta rel tunggal dalam dua atau tiga tahun dari 2013.
Harapan Jokowi itu direspons dengan pernyataan optimistis Direktur Ortus Holdings Banyu Biru Djarot bahwa monorel Jakarta itu akan "beroperasi penuh pada 2016 dengan satu baris mungkin beroperasi pada 2015."
Bagi Iwan Suseno, warga Kelurahan Kebon Manggis, Matraman, Jakarta Timur, keberlanjutan megaproyek JET senilai Rp7 triliun ini merupakan kabar gembira yang patut disambut hangat.
"Kalau jadi 'ground breaking'-nya dilaksanakan pada 16 Oktober ini, selamat datang deh monorel Jakarta. Akhirnya jadi juga kita punya monorel," kata karyawan sebuah perusahaan di Jalan Medan Merdeka Selatan Jakarta Pusat ini.
Urai kemacetan
Kegembiraan Iwan agaknya mewakili perasaan banyak warga ibu kota karena pengoperasian monorel itu diharapkan tidak hanya akan mempersingkat waktu tempuh penumpang tetapi juga membantu mengurai kemacetan Jakarta.
"Ya mudah-mudahan, kemacetan bisa berkurang. Tapi saya juga berharap pelayanan monorel ini nantinya benar-benar baik dan memberikan kenyamanan dan keamanan dengan harga tiket yang terjangkau sehingga mereka yang selama ini pakai mobil pribadi mau beralih ke monorel," katanya.
Di samping itu, untuk mendukung kemudahan mobilitas dan efisiensi biaya transportasi warga, Iwan pun berharap Jakarta pada suatu saat nanti memiliki sistem tiket terpadu angkutan umum massal.
Dengan sistem ini, Iwan berharap tiket monorel juga berlaku untuk melanjutkan perjalanan dengan bus Transjakarta atau moda angkutan lain seperti kereta rel listrik (KRL) komuter dan Mass Rapid Transit (MRT).
Harapan warga Matraman berusia 39 tahun ini bukanlah sesuatu yang tak bisa diwujudkan karena sistem tersebut sudah lama diterapkan di banyak kota di luar Indonesia. Brisbane, kota terbesar ketiga Australia, misalnya, sudah memberlakukan sistem tiket terpadu angkutan umumnya sejak 1998.
Dengan sistem tiket yang pemberlakuannya diumumkan langsung oleh Vaughan Johnson, menteri urusan transportasi dan jalan utama Queensland ketika itu, warga dan pengunjung Kota Brisbane dan sekitarnya dapat menikmati jasa angkutan bus, feri, CityCat (angkutan Sungai Brisbane-red.) dan KRL dalam zona dan waktu pakai yang telah diatur dengan hanya membeli satu tiket bernama "Day Tripper".
Kembali ke persoalan pembangunan monorel yang direncanakan PT Jakarta Monorel akan melayani rute Green Line (Casablanca-Rasuna Said) dan Blue Line (Kampung Melayu-Tanah Abang) dengan masing-masing 10 dan 18 gerbong ini, pemerhati masalah transportasi, Agus Pambagio, melihat adanya kendala yang bisa kontraproduktif bagi upaya mempercepat proses pembangunan moda transportasi baru ibu kota ini.
Kendala yang dimaksudkan Agus itu adalah "perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta terkait peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum bagi pembangunan monorel ini."
Untuk menyelesaikan masalah ini, menurut Agus, gubernur DKI Jakarta bersama Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN perlu segera menghadap Presiden untuk menyampaikan masalah yang dihadapi dan meminta "fatwa jalan keluarnya".
"Misalnya, apa perlu dikeluarkan Perpres baru pengganti Perpres No. 56 tahun 2011? Ini penting karena kondisi lalu lintas di Jabodetabek sudah nyaris 'gridlock' (macet total)," katanya seperti dikutip dari tulisannya "Monorel Jakarta Nan Galau" di situs Protes Publik.
Dengan menyelesaikan kendala yang tersisa ini, penantian Iwan dan banyak warga Jakarta lainnya maupun para komuter dari kota-kota satelit sekitar ibu kota akan monorel dapat segera berakhir.
Menunggu Akhir Penantian Monorel Jakarta
Jumat, 4 Oktober 2013 10:07 WIB