Jakarta (ANTARA) - Sejarah adalah cara manusia berbicara kepada waktu. Ia menghubungkan masa lalu dengan masa kini, dan membuka jalan menuju masa depan. Dalam setiap halaman buku sejarah, tersimpan bukan hanya peristiwa, tetapi juga nilai, perjuangan, dan kebijaksanaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Buku sejarah, dengan demikian, bukan sekadar kumpulan fakta atau kronologi, melainkan medium pewarisan pengetahuan lintas zaman—sebuah jembatan yang menyatukan ingatan kolektif bangsa agar tidak terputus oleh arus waktu dan perubahan.
Namun, di tengah derasnya perkembangan teknologi dan banjir informasi digital, jembatan itu kerap tampak rapuh. Survei yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 2022 menunjukkan bahwa minat baca remaja terhadap buku nonfiksi, khususnya sejarah, hanya berkisar 18–22%. Di Indonesia, data dari Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan (2023) juga memperlihatkan bahwa hanya 1 dari 5 siswa SMA yang membaca buku sejarah di luar kewajiban sekolah.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sejarah mulai kehilangan daya tariknya di mata generasi muda, bukan karena ia kehilangan makna, melainkan karena cara penyampaiannya belum cukup mendekatkan masa lalu pada kehidupan mereka hari ini.
Di sinilah pentingnya memperkaya buku sejarah. Bukan untuk mengubah atau menggantikan isi yang sudah ada, tetapi untuk memperdalam, memperluas, dan menghidupkannya kembali. Buku sejarah yang diluncurkan pemerintah dari Bab 1 hingga Bab 11 telah memuat kerangka faktual dan ilmiah yang kokoh—dari pembentukan peradaban awal hingga dinamika politik kontemporer Indonesia.
Namun, buku-buku ini akan semakin bermakna bila diperkaya dengan pendekatan naratif, reflektif, dan kontekstual yang membuat pembaca muda mampu melihat diri mereka sebagai bagian dari alur sejarah itu sendiri.
Sejarah yang diperkaya adalah sejarah yang berbicara dengan suara manusia. Ia tidak hanya mencatat keputusan besar para pemimpin, tetapi juga mengisahkan denyut kehidupan rakyat biasa - guru yang mengajar di masa revolusi, ibu yang menyembunyikan surat perjuangan di bawah anyaman tikar, atau anak muda yang menulis puisi di tengah gejolak sosial.
Dengan cara itu, sejarah menjadi cermin yang memantulkan wajah bangsa dari berbagai sisi: politik, sosial, ekonomi, budaya, dan kemanusiaan. Menurut riset dari Universitas Gadjah Mada (2024), pendekatan historis yang menonjolkan pengalaman manusia mampu meningkatkan pemahaman siswa terhadap makna sejarah hingga 74%, dibandingkan dengan pembelajaran berbasis hafalan semata.
Buku Sejarah adalah Warisan Hidup
Keterhubungan antar generasi tidak hanya lahir dari apa yang kita warisi, tetapi juga dari cara kita menyampaikan kembali warisan itu. Generasi masa kini hidup dalam dunia digital yang cepat dan visual. Data dari We Are Social (2024) menunjukkan bahwa 79% pengguna internet berusia 15–25 tahun lebih suka belajar sejarah lewat konten multimedia-video, podcast, dan narasi interaktif—daripada membaca teks panjang.
Artinya, memperkaya buku sejarah juga berarti membuka ruang integrasi dengan teknologi: menambahkan kode QR yang mengarah ke arsip digital, rekaman suara tokoh sejarah, atau visualisasi peta interaktif. Langkah ini bukan sekadar inovasi, melainkan strategi untuk memastikan bahwa pengetahuan sejarah tetap mengalir di tengah budaya digital tanpa kehilangan kedalaman ilmiahnya.
Lebih jauh, sejarah yang diperkaya membantu kita menanamkan kesadaran kritis. Di balik setiap peristiwa, selalu ada tafsir dan nilai yang perlu direnungkan. Buku sejarah yang hidup adalah buku yang mengajak pembacanya berdialog, bukan hanya menerima informasi.
Ia mendorong generasi muda untuk bertanya: mengapa bangsa ini pernah mengalami masa-masa sulit? Bagaimana keputusan masa lalu memengaruhi kondisi hari ini? Dan apa yang bisa kita pelajari untuk menata masa depan? Dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu, sejarah menjadi wahana pembelajaran moral dan intelektual, bukan sekadar kewajiban akademis.
Buku sejarah dari Bab 1 hingga Bab 11 sesungguhnya telah memberi pondasi kokoh untuk menjembatani generasi. Bab-bab awal memperkenalkan akar kebudayaan dan nilai luhur peradaban Nusantara yang menumbuhkan identitas bangsa.
Bab-bab pertengahan menuturkan perjuangan panjang menuju kemerdekaan dan pembentukan negara modern. Sedangkan bab-bab akhir mengajak pembaca merefleksikan tantangan kontemporer seperti demokrasi, globalisasi, dan perubahan sosial. Struktur ini sudah kuat; yang dibutuhkan adalah sentuhan yang memperkaya—penyampaian yang hangat, narasi yang menyentuh, dan relevansi yang terasa di hati pembaca masa kini.
Pada akhirnya, buku sejarah adalah warisan hidup. Ia menjaga agar pengalaman dan kebijaksanaan masa lalu tidak lenyap di telan waktu, tetapi terus mengalir ke masa depan. Setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk memperkaya jembatan itu—menyusun narasi yang jujur, terbuka, dan manusiawi. Karena tanpa sejarah yang diperkaya, bangsa akan kehilangan arah; tetapi dengan sejarah yang hidup, kita memiliki kompas untuk melangkah bersama, melanjutkan cerita yang belum selesai.(*)
Oleh: Prima Surbakti* (Ketua Umum Organisasi GMKI)
