Bandung (ANTARA) - Pengamat kebijakan publik dari Universitas Parahyangan (Unpar), Kristian Widya Wicaksono menilai gerbang bergaya candi bentar di Gedung Sate memiliki paradoks, yakni megah secara visual namun hampa manfaat bagi masyarakat Jabar yang tengah bergulat dengan realitas ekonomi.
Proyek pilar gerbang yang kini masih dalam tahap pembangunan itu, menurut Kristian, mencerminkan ketimpangan fatal dalam politik anggaran antara prioritas pemerintah dengan kebutuhan riil warga.
"Secara fisik tampak megah, seolah menunjukkan ada pergerakan pembangunan. Tapi ketika dibenturkan dengan realitas ekonomi masyarakat Jawa Barat saat ini, itu terasa hampa karena tidak menyentuh akar persoalan publik," ujarnya di Bandung, Minggu.
Baca juga: DPRD Jabar sebut ada ironi anggaran gapura Gedung Sate vs pelestarian situs
Menurut Kristian, lolosnya anggaran ini dalam APBD memang menandakan adanya kesepakatan formal antara pemerintah daerah dan DPRD.
Namun, ia juga mempertanyakan urgensi "mempercantik" pagar kantor pemerintahan di saat daya beli dan kesejahteraan masyarakat sedang membutuhkan stimulus nyata.
Lebih lanjut, Kristian menyebut fenomena ini sebagai proyek "mercusuar" pembangunan yang mengejar efek visual dan simbolik semata.
Sehingga, kata dia, publik berhak menggugat transparansi alasan di balik prioritas pemugaran pagar dibandingkan program yang berdampak langsung pada kualitas hidup manusia.
Baca juga: Ahli sebut gerbang "Candi Bentar" selaras dengan visi arsitek Gedung Sate
Utamanya pada angka Rp3,9 miliar yang digelontorkan untuk gerbang itu, ditambah paving blok area parkir.
Kristian menekankan bahwa narasi efisiensi yang selama ini didengungkan pemerintah, seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai pemotongan anggaran, melainkan juga soal ketepatan alokasi "input" untuk menghasilkan "output" yang bermakna.
"Apakah Rp3,9 miliar untuk pagar dan gapura (dan lapangan parkir) itu lebih bermakna dibanding jika dialokasikan untuk program yang berdampak langsung pada kesejahteraan ekonomi warga?" katanya menambahkan.
