Jakarta (ANTARA) - Tekanan emosional yang tidak terlihat namun terus meningkat dinilai menjadi persoalan kesehatan perempuan modern di tengah ritme hidup cepat dan tuntutan sosial yang kian besar.
Fenomena itu mengemuka dalam diskusi Women on The Move: The Inner Science of Her yang digelar Filmore di Jakarta Selatan, Senin, yang menekankan pentingnya perawatan diri sebagai langkah awal menjaga kesehatan fisik dan mental.
“Jadi kita wanita hari ini dibebani dengan begitu banyak ekspektasi. Menunjukkan diri pada atasan, teman, kolega, tim, lalu diharapkan pulang menjadi ibu atau istri yang baik, mungkin pacar yang baik atau putri yang baik,” ujar Co-Founder & CEO Filmore Woman, Gitta Amelia, dalam diskusi tersebut.
Ia menambahkan bahwa tekanan yang dianggap lumrah itu membuat perempuan kerap menahan ketidaknyamanan fisik maupun emosional.
“Kadang kita memakai rasa sakit itu sebagai sesuatu yang dibanggakan. Padahal, membawa begitu banyak rasa sakit dan ekspektasi itu tidak normal. Semua itu akhirnya mengorbankan kesehatan kita,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Psikiater Filmore dr. Karina Kalani, Sp.KJ, menjelaskan bahwa secara neurologis perempuan memiliki sistem emosi yang bekerja lebih aktif, dipengaruhi perubahan hormon estrogen dan progesteron.
Kondisi itu membuat perempuan lebih rentan mengalami gejala fisik akibat tekanan psikologis.
“Banyak perempuan akhirnya mengalami gejala fisik karena beban emosional yang tidak terlihat. Ini wajar terjadi karena perempuan menjalankan banyak peran sekaligus,” ujarnya.
Selain faktor biologis, Karina menilai budaya turut membuat perempuan sering menomorduakan kebutuhan pribadi.
“Di Indonesia, perempuan sering merasa harus menomorduakan kebutuhan diri sendiri karena faktor budaya. Padahal perempuan dan laki-laki sama-sama punya hak untuk bicara dan didengar,” katanya.
Baca juga: Transparansi gaji
Baca juga: KemenPPPA Veronica Tan tekankan kolaborasi tangani kekerasan perempuan dan anak
Baca juga: dr. Sita Ayu Arumi: Perempuan Pertama di Tim Bedah Robotik Indonesia
