Kabupaten Bogor (ANTARA) - Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menegaskan media massa harus menghormati martabat pesantren dan nilai keagamaan, menyusul tayangan program “Xpose” Trans7 yang dinilai melecehkan kyai dan santri Pondok Pesantren Lirboyo.
Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Penelitian dan Kebijakan Strategis PB HMI, Herdiansyah Iskandar di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mengatakan tayangan tersebut mencederai kehormatan pesantren sebagai institusi moral yang berperan penting dalam pembentukan karakter bangsa.
“Media memiliki tanggung jawab moral, bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menjaga nilai, martabat, dan sensitivitas budaya masyarakat Indonesia yang religius,” kata Herdiansyah.
Baca juga: Tagar boikot Trans7 dan pentingnya memahami tradisi serta budaya pesantren
Baca juga: Ketua KPI bakal ambil sikap tegas terhadap tayangan Trans7 terkait soal pesantren
Ia menjelaskan pesantren memiliki fungsi sosial dan spiritual yang telah mengakar dalam sejarah bangsa. Karena itu, penghinaan terhadap kyai dan santri tidak bisa dianggap sebagai kesalahan redaksi semata, melainkan pelanggaran terhadap identitas keagamaan umat Islam.
Menurut Herdiansyah, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengamanatkan agar insan pers menghormati nilai budaya dan agama serta menghindari pemberitaan yang menimbulkan kebencian atau diskriminasi. Tayangan Trans7 itu dinilai bertentangan dengan prinsip tersebut karena lebih mengedepankan sensasi daripada tanggung jawab edukatif.
HMI mendesak Trans7 memberikan klarifikasi terbuka dan permohonan maaf kepada umat Islam, khususnya kepada keluarga besar Pondok Pesantren Lirboyo. Langkah itu dinilai penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap media nasional.
“Klarifikasi publik diperlukan agar masyarakat percaya bahwa media Indonesia tetap berkomitmen pada nilai-nilai etika dan keadaban,” ujarnya.
Baca juga: PBNU akan tempuh jalur hukum atas tayangan di Trans7 dinilai hina pesantren
Ia juga menyoroti dampak sosial dari pelabelan negatif terhadap santri dan kyai. Berdasarkan teori labeling Howard Becker, stigma yang dilekatkan media dapat menciptakan prasangka dan diskriminasi baru di tengah masyarakat.
“Ketika media ikut membentuk persepsi negatif terhadap simbol keagamaan, yang terancam bukan hanya individu, tetapi juga harmoni sosial bangsa,” katanya menambahkan.
HMI juga meminta Dewan Pers turun tangan menegakkan etika jurnalistik dan memastikan lembaga penyiaran tidak mengorbankan nilai kemanusiaan demi kepentingan komersial.
“Dewan Pers perlu menegaskan kembali bahwa jurnalisme Indonesia berdiri di atas fondasi moral, bukan rating,” ujar Herdiansyah.(KR-MFS)
