Jakarta (ANTARA) - Suatu sore di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, beberapa anak muda terlihat sibuk membentangkan karpet yang sering digunakan untuk piknik.
Setelah karpet terbentang, anak-anak usia belasan hingga 30-an ramai duduk bersama dan membuka buku mereka masing-masing. Sore itu, selama sekitar 1 jam 30 menit, mereka tenggelam dalam buku-buku favorit masing-masing. Ada yang membaca karya-karya Agatha Christie, Tere Liye, Dewi Lestari, hingga novel-novel lain karya penulis fiksi tersohor.
Komunitas baca ini menamai diri mereka sebagai Book Clan Jakarta. Tak hanya di Lapangan Banteng, kegiatan baca bareng mereka bervariasi. Di akun media sosial instagram, mereka pernah menggerakkan anak-anak muda untuk membaca di transportasi umum, yakni kereta api. Sepanjang jalur KRL Jakarta Kota-Nambo, mereka membaca buku.
Setelah membaca buku, mereka saling berkenalan dan membagikan isi cerita bukunya masing-masing. Anak-anak muda itu ngobrol dengan hangat sambil menularkan kebiasaan yang selama ini dianggap kurang diminati anak-anak muda Indonesia: membaca buku.
Pada kesempatan yang lain, di Taman Literasi Martha Christina Tiahahu, Jakarta Selatan, anak-anak muda yang lain meluangkan waktu sekitar satu jam untuk membaca buku bersama. Berbeda dengan Book Clan, para peserta yang ikut baca bareng itu tak perlu saling berkenalan, cukup duduk bersama, membaca buku, lalu pulang. Komunitas baca yang satu ini bernama Baca Bareng Silent Book Club, inisiatornya Duta Baca DKI Jakarta tahun 2023 Hestia Istiviani.
Di akhir pekan, kedua komunitas baca ini masih aktif mengadakan baca bareng, yang pesertanya bisa mencapai puluhan, bahkan ratusan ketika berbarengan dengan acara-acara tertentu.
Komunitas-komunitas itu terus tumbuh tidak hanya di Jakarta. Mereka bahkan saling berkolaborasi dan menghidupkan kembali nyawa literasi di bangsa ini dengan terus mengadakan kegiatan-kegiatan membaca buku yang bervariasi.
Founder Indonesia Book Party Samuel Pandiangan ketika ditemui pada Hari Ulang Tahun ke-75 Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) membantah bahwa minat baca Indonesia rendah, karena benang kusut masalah literasi di Indonesia bukan pada minat baca, melainkan pada pembiasaan kegiatan membaca.
Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah literat, bahkan, angka buta huruf sudah mendekati nol persen. Namun, sebagian besar masih aliterat, atau memiliki kemampuan membaca dan menulis, tetapi memilih untuk tidak melakukannya. Hal inilah yang menjadi salah satu kesulitan membiasakan kegiatan membaca.
Namun, komunitas-komunitas baca tersebut tidak berhenti. Mereka bahkan terus menggaungkan kegiatan di media sosial dan terus menarik para pembaca, hingga akhirnya gerakan mereka mendapatkan sambutan yang baik, setidaknya dari Gubernur Jakarta Pramono Anung yang membuat kebijakan baru yakni mewajibkan perpustakaan di Jakarta untuk buka hingga malam hari.
Kebijakan yang tepat sudah tentu membawa hasil yang baik. Masyarakat Jakarta kini punya perpustakaan yang buka setiap hari Senin hingga Minggu pukul 09.00-22.00 WIB. Sejak dibuka lebih lama, kunjungan di Perpustakaan Jakarta meningkat hingga 53 persen.
Kepala Perpustakaan Nasional E Aminudin Aziz berharap kebijakan baik tersebut dapat dicontoh oleh perpustakaan daerah lainnya, mengingat saat ini terdapat Dana Alokasi Non-Fisik khusus yang bisa dimanfaatkan oleh daerah untuk kegiatan literasi.
Pentingnya keberpihakan pada penulis dan penerbit

Perjuangan anak-anak muda di komunitas-komunitas tersebut tak akan ada artinya jika tak didukung oleh ekosistem buku yang sehat.
E Aminudin Aziz menyatakan, ada tiga pihak yang perlu disalahkan apabila suatu buku yang dibaca oleh masyarakat tidak berkualitas. Ketiga pihak tersebut yakni penulis, penerbit, dan perpustakaan.
Dari sisi penulis, mereka akan menanggung dosa besar apabila sengaja membuat cerita yang tidak menginspirasi pembaca, apalagi jika diiringi dengan niat-niat yang tidak baik untuk menumbuhkan energi negatif.
Sedangkan dari sisi penerbit, mereka memiliki tanggung jawab besar untuk menyeleksi buku-buku mana yang pantas terbit dan dibaca secara luas oleh masyarakat. Kemudian dari sisi perpustakaan, sebagai lembaga penting yang harus menyediakan buku-buku berkualitas kepada masyarakat agar dapat diakses secara gratis, tentu ada andil besar dalam menentukan buku-buku berkualitas.
Namun, pernyataan tersebut mendapat kritik dari Penulis Novel Muda Indonesia Jombang Santani Khairen atau yang lebih dikenal dengan JS Khairen. Menurut dia, penulis di Indonesia sudah berupaya terus menulis sepenuh hati, bahkan hingga memikirkan bagaimana agar naskah-naskahnya dikenal hingga ke dunia internasional.
"Penulis-penulis ini terus memikirkan bagaimana agar naskah-naskah tersebut terkirim ke internasional, mereka datang ke Tiktok, membuat konten bahkan ekosistem pembaca di sana, dan segala macam. Untuk masalah aliterat ini, jangan-jangan memang dibiarkan, dan belum ada upaya dari pembuat kebijakan untuk memperbaiki itu," katanya.
JS Khairen juga menyoroti mahalnya harga kertas, rawannya pembajakan karya, hingga perhatian pemerintah pada ekosistem perbukuan dan literasi yang masih kurang.
Senada dengan JS Khairen, penulis Maman Suherman juga mengeluhkan masih tingginya pajak yang dibebankan pada penulis. Padahal, para penulis Indonesia bisa dibilang sangat produktif dalam menciptakan karya-karya yang berkualitas.
Negara, menurutnya, selama ini masih menganggap buku di perpustakaan hanya sebatas aset. Terdapat syarat-syarat penilaian yang membuat perpustakaan di sekolah sepi dan buku-bukunya tidak dibaca oleh siswa, salah satunya syarat bahwa buku harus kembali dalam keadaan yang baik atau rapi seperti semula.
Buku-buku di rak-rak perpustakaan tersebut semestinya harus terus bergerak, meski kembali dalam keadaan terlipat, basah, atau bahkan sobek, yang menandakan bahwa memang informasi di dalamnya telah terbaca atau menjadi bahan rujukan bagi siswa yang haus akan pengetahuan.
Di sisi lain, Ketua IKAPI Arys Hilman menyebutkan saat ini penerbit yang ada di bawah naungan IKAPI hanya tersisa 2.721. Mirisnya, hanya sepertiga atau sekitar 982 penerbit yang masih aktif.
Disrupsi digital dan pandemi COVID-19 menjadi pemicu utama mengapa para penerbit di Indonesia saat ini mati-matian bertahan.
Pentingnya regulasi dan kebijakan yang tepat
Guna mewujudkan ekosistem perbukuan yang sehat, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) saat ini tengah menyusun peraturan turunan dari Undang-Undang (UU) Sistem Perbukuan.
Hingga tahun 2025, ada tiga daerah yang tercatat akan membuat peraturan turunan dari UU tersebut, yakni Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Kepala Pusat Perbukuan Kemendikdasmen mengemukakan, baik IKAPI, Kemendikdasmen, maupun Perpusnas tidak bisa bekerja sendirian dalam menciptakan ekosistem perbukuan yang sehat, perlu kolaborasi dari seluruh pihak, termasuk pemerintah daerah yang memiliki peran krusial.
Dalam petunjuk teknis dana BOS, penggunaan anggaran untuk belanja buku juga sudah dialokasikan sebesar 10 persen, yang bukan hanya untuk buku teks, melainkan juga untuk buku-buku fiksi.
Untuk mengatasi permasalahan penerbitan buku yang selama ini juga terhalang regulasi yang terlalu panjang, Perpusnas juga telah menetapkan bahwa penerbitan International Standard Book Number (ISBN) tidak akan lebih dari tiga hari apabila dokumen yang dikumpulkan telah benar dan lengkap. Para penulis juga diimbau untuk segera merevisi konten yang telah ditentukan oleh Perpusnas sehingga ISBN dapat segera terbit.Geliat komunitas baca di Indonesia yang terus meningkat sebenarnya telah menunjukkan bahwa negara ini tidak kekurangan minat dalam membaca buku. Namun, peningkatan minat membaca tersebut juga mesti diimbangi dengan keberpihakan negara dengan membuat regulasi dan kebijakan yang mengakomodasi para penulis dan penerbit untuk mewujudkan ekosistem perbukuan yang sehat.