Jakarta (ANTARA) - Beberapa waktu lalu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut Indonesia justru ibarat bright spot in the dark yang mampu menerobos ketidakpastian di tingkat global dan mendorongnya menjadi optimisme.
Pernyataan itu membawa pada kesadaran bersama bahwa ekonomi bukanlah soal hitam dan putih belaka melainkan kombinasi kompleks antara angka, kebijakan, dan daya hidup masyarakat.
Begitupun dalam lanskap ekonomi yang penuh dinamika, sentimen memang memiliki pengaruh besar, tetapi di atas segalanya, data dan strategi jauh lebih menentukan arah.
Indonesia harus diakui sedang mengalami penurunan penerimaan pajak sebesar 30 persen dalam dua bulan pertama 2025, yang mengakibatkan defisit anggaran sebesar Rp31,2 triliun.
Jika dibandingkan dengan surplus Rp26 triliun pada periode yang sama tahun lalu, tentu ini bukan kabar menggembirakan. Namun, untuk memahami realitas ini, semua harus melihat faktor di balik angka.
Penurunan ini bukanlah sekadar gejala ekonomi yang merosot, melainkan dampak dari dua faktor utama yakni, harga komoditas global yang turun, berimbas pada penerimaan negara dari pajak ekspor dan royalti sumber daya alam. Kemudian, perubahan sistem perpajakan yang mengharuskan penyesuaian dalam mekanisme pengumpulan pajak.
Bukan kali pertama Indonesia menghadapi turbulensi fiskal, dan bukan berarti ini adalah titik balik ke arah kehancuran.
Salah satu pemicu kekhawatiran global terhadap ekonomi Indonesia datang dari keputusan Morgan Stanley yang memangkas peringkat saham Morgan Stanley Capital International (MSCI) Indonesia dari equal weight menjadi underweight.
Kemudian Goldman Sachs juga menurunkan peringkat sejumlah aset investasi mereka di Indonesia, di antaranya di pasar saham dari overweight menjadi market weight, sedangkan di pasar obligasi untuk surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun hingga 20 tahun menjadi netral dari sebelumnya termasuk disukai.
Langkah ini seakan menjadi alarm bagi investor, terutama dalam konteks arus modal yang semakin selektif di tengah ketidakpastian global.
Namun, keputusan ini lebih mencerminkan strategi portfolio rebalancing ketimbang fundamental ekonomi yang memburuk.
Goldman Sachs, sebagai institusi keuangan global, tentu mempertimbangkan portofolio mereka secara dinamis berdasarkan prospek investasi jangka pendek di berbagai pasar negara berkembang.
Dalam analisis mendalam, justru koreksi ini harus dilihat sebagai tantangan bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing pasar modalnya.
Jika dibandingkan dengan negara-negara BRICS yang baru berkembang seperti Brasil dan India, Indonesia memang masih menghadapi tantangan dalam menarik investasi asing langsung (FDI).
Namun, dengan reformasi yang sedang dijalankan, khususnya dalam kebijakan perpajakan dan sovereign wealth fund (Dana Kekayaan Negara) Danantara, ada peluang untuk memperbaiki daya tarik investasi Indonesia.
Di sisi lain, Fitch Ratings mempertahankan peringkat kredit Indonesia di BBB dengan prospek stabil, tetapi dengan catatan mengenai risiko fiskal yang meningkat.
Dalam laporannya, Fitch menyoroti potensi pelebaran defisit jika pemerintah gagal meningkatkan pendapatan pajak dan melakukan efisiensi belanja. Ini adalah catatan penting, tetapi juga bukan alarm bahaya.
Sebab, dibandingkan negara berkembang lain yang mengalami pemangkasan peringkat akibat tekanan utang dan ketidakstabilan fiskal, Indonesia tetap mempertahankan reputasi sebagai negara dengan disiplin fiskal yang relatif baik.
Analis pasar modal sekaligus Founder Stocknow.id Hendra Wardana juga menyampaikan bahwa pasar saham Indonesia masih memiliki daya tarik dibandingkan kawasan Asia Tenggara lainnya di tengah adanya penurunan rating oleh Morgan Stanley Capital International (MSCI) dan Goldman Sachs.
Baca juga: Guru Besar UI sebut pemangkasan rating Goldman Sachs kurang baik bagi pasar