Bengkulu (ANTARA) - Tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional atau Hari Perempuan se-Dunia. Masih terlalu banyak perempuan yang belum beruntung akibat perlakuan diskriminasi meskipun umat manusia telah berada pada era moderen di zaman kemajuan teknologi digital ini.
Begini potret impresi dari pegiat perempuan, sebagai nukilan mengenai perempuan di Indonesia.
Pemerintah Indonesia diminta segera menerbitkan seluruh peraturan pelaksana Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), mengingat hingga saat ini baru tiga dari tujuh peraturan yang telah diterbitkan seiring perlunya pemenuhan regulasi untuk perlindungan korban kekerasan seksual.
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Made Natasya Restu Dewi Pratiwi, dalam keterangan tertulis, Jumat, mengatakan meskipun Indonesia telah mencantumkan komitmen kesetaraan gender dan perlindungan perempuan tetapi implementasinya masih belum sesuai harapan.
Meskipun Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 menunjukkan penurunan prevalensi kekerasan seksual dan/atau fisik terhadap perempuan dari 26,1 persen (2021) menjadi 24,1 persen (2024), langkah konkret dalam penerapan kebijakan masih tertinggal. Hingga kini, pemerintah baru mengeluarkan 3 dari 7 peraturan pelaksana yang seharusnya diterbitkan dua tahun setelah pengesahan UU TPKS,” katanya.
Hal itu belum banyak nampak implementasi dari UU No 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 serta Perpres No 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Ia menekankan belum adanya penerbitan tujuh aturan pelaksana UU TPKS ini bisa berdampak pada perlindungan korban yang tidak maksimal. Tanpa payung hukum yang lengkap, penanganan kasus kekerasan seksual berisiko menghadapi hambatan dalam aspek pencegahan, penanganan korban, hingga penegakan hukum terhadap pelaku.
Selain itu, Natasya juga menyoroti masih belum banyak keterwakilan perempuan dalam struktur pemerintahan, termasuk dalam Kabinet Merah Putih Prabowo yang didominasi laki-laki. Menurutnya, kurangnya keterwakilan perempuan berpotensi menghambat lahirnya kebijakan yang berperspektif gender dan inklusif.
UU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang dinilai perlu dikawal implementasinya agar tidak justru memperbesar kesenjangan gender di dunia kerja. Ia menekankan pentingnya kesadaran pemberi kerja dalam menerapkan kebijakan cuti menstruasi, hamil, dan melahirkan bagi perempuan tanpa menimbulkan stigma negatif yang dapat mempersulit perempuan memperoleh pekerjaan.
“leh karena itu, momentum Hari Perempuan Internasional seharusnya menjadi ajang refleksi bagi pemerintah untuk mempercepat realisasi kebijakan yang berorientasi pada kesetaraan gender. Program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) yang baru dirilis pemerintah juga perlu dioptimalkan sebagai upaya pemberdayaan perempuan dari tingkat desa.
Kartini
Raden Ajeng Kartini puluhan tahun silam pernah menggugat pandangan sempit tentang kodrat perempuan. Ia menulis, “Kami manusia, seperti halnya orang laki-laki. Aduh, berilah izin untuk membuktikannya. Lepaskan belenggu saya! Izinkan saya berbuat dan saya akan menunjukkan, bahwa saya manusia. Manusia seperti laki-laki."
Keinginan untuk melepaskan diri dari belenggu tersebut menegaskan bahwa perempuan memiliki nilai yang setara dalam membangun peradaban, termasuk di bidang ekonomi.
Di Indonesia, peran perempuan dalam ekonomi bukan sekadar pelengkap, melainkan pilar utama yang menopang berbagai sektor, baik formal maupun informal.
Sejak era perdagangan tradisional hingga ekonomi digital saat ini, perempuan telah membuktikan diri sebagai pelaku ekonomi yang tangguh, inovatif, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Sebuah urgensi yang relevan untuk ditegaskan kembali seiring Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day/ IWD) yang diperingati setiap 8 Maret.
Ini bukan hanya momen selebrasi, melainkan panggilan untuk merenungkan kembali sejauh mana perempuan telah mendapatkan akses dan peluang yang adil dalam sistem ekonomi.
Konsep kesetaraan gender dalam ekonomi perlu diterjemahkan ke dalam kebijakan yang lebih inklusif. Artinya, sistem ekonomi harus didesain agar tidak bias gender dan memberi ruang setara bagi perempuan untuk maju.
Masih banyak perempuan di Indonesia yang menghadapi kendala dalam meniti karier atau mengembangkan usaha mereka karena norma sosial yang membatasi, kurangnya akses terhadap modal, serta ketimpangan dalam pembagian peran domestik.
Jika perempuan masih harus memilih antara bekerja atau mengurus keluarga, maka sistem ekonomi yang ada belum cukup mendukung mereka.
Prinsip ini bukan hanya tuntutan moral, tetapi sejalan dengan nilai keadilan sosial yang diamanatkan konstitusi serta komitmen global.
Ekonomi yang tidak melibatkan perempuan secara maksimal adalah ekonomi yang kehilangan separuh potensinya.
Sekjen PBB (1997-2006) Kofi Annan juga pernah menyatakan bahwa tidak ada alat pembangunan yang lebih efektif daripada pemberdayaan perempuan.
Ketika perempuan diberdayakan, mereka tidak hanya meningkatkan kesejahteraan diri sendiri tetapi juga komunitas di sekitarnya.
Pendapatan perempuan sering kali dialokasikan untuk pendidikan anak, kesehatan keluarga, dan investasi masa depan, yang pada akhirnya menciptakan dampak positif jangka panjang bagi perekonomian nasional.
Pandangan ini menunjukkan bahwa dengan memberi kesempatan yang sama kepada perempuan bukan saja benar secara etis, tetapi juga langkah cerdas secara pragmatis.
Namun, kesempatan tidak hanya berbicara soal membuka akses pekerjaan atau usaha bagi perempuan. Lebih dari itu, kesempatan berarti menciptakan ekosistem yang memungkinkan perempuan berkembang tanpa batasan struktural yang menghambat.
Mewujudkan kesetaraan
Masyarakat luas juga berperan dalam mewujudkan kesetaraan gender. Cara pandang terhadap perempuan perlu diubah ke arah yang lebih adil.
Norma yang menganggap perempuan sebagai pencari nafkah sekunder atau lebih cocok untuk pekerjaan tertentu harus ditinggalkan.
Stereotip kuno yang menganggap laki-laki sebagai pencari nafkah utama harus ditinggalkan, dan pekerjaan domestik dilihat sebagai tanggung jawab bersama suami-istri.
Pembagian peran yang lebih setara di dalam rumah tangga bukan hanya membantu perempuan untuk lebih produktif di dunia kerja, tetapi juga mengajarkan kepada generasi mendatang bahwa tanggung jawab ekonomi bukanlah beban satu gender saja.
Pendidikan sejak dini penting untuk menanamkan kesetaraan gender, didukung peran media yang menampilkan figur perempuan sukses guna menginspirasi perubahan.
Media dan industri hiburan berkontribusi besar dalam membentuk persepsi masyarakat. Jika perempuan terus-menerus digambarkan dalam peran yang sempit, seperti hanya sebagai ibu rumah tangga atau pekerja di sektor tertentu, maka sulit bagi masyarakat untuk melihat potensi perempuan secara lebih luas.
Oleh karena itu, narasi tentang perempuan dalam ekonomi harus terus diperluas dan ditampilkan secara lebih beragam.
Bila budaya masyarakat sudah mendukung, kebijakan inklusif dari pemerintah maupun dunia usaha akan lebih efektif berjalan tanpa terbentur bias.
Di Indonesia, beberapa kebijakan sudah mulai mendukung perempuan dalam ekonomi, tetapi implementasinya masih perlu diperkuat.
Dari sisi kebijakan, pemerintah perlu mengambil langkah nyata untuk memberdayakan perempuan dalam ekonomi. Misalnya menegakkan aturan ketenagakerjaan yang melarang diskriminasi gender dan memastikan prinsip “upah sama untuk kerja yang sepadan” terlaksana.
Ketimpangan upah antara perempuan dan laki-laki masih menjadi isu nyata di banyak sektor. Hal ini tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi karena bakat dan potensi mereka tidak dimanfaatkan secara maksimal.
Selain itu, perlu memperluas akses perempuan terhadap pendidikan dan pelatihan vokasi, serta skema kredit bagi wirausaha perempuan agar usaha mereka bisa naik kelas.
Banyak perempuan pelaku UMKM yang kesulitan mengakses modal karena tidak memiliki jaminan atau dianggap kurang layak mendapatkan pinjaman.
Padahal, mereka telah membuktikan bahwa usaha kecil yang mereka jalankan berkontribusi besar terhadap ekonomi daerah.
Program-program kredit berbasis gender yang lebih fleksibel dan berbasis komunitas bisa menjadi solusi untuk memperkuat keberlanjutan usaha perempuan.
Dukungan seperti perpanjangan cuti melahirkan dan penyediaan daycare yang terjangkau juga penting untuk menciptakan lingkungan kerja ramah keluarga.
Banyak perempuan terpaksa berhenti bekerja setelah melahirkan karena kurangnya dukungan dari tempat kerja. Jika dunia usaha lebih fleksibel dalam memberikan kebijakan bagi ibu bekerja, produktivitas tenaga kerja perempuan bisa meningkat secara signifikan.
Sektor swasta tak kalah penting perannya dalam mewujudkan kesetaraan gender. Perusahaan dapat menerapkan kebijakan ramah keluarga seperti jam kerja fleksibel atau opsi kerja jarak jauh, sehingga karyawan perempuan bisa menyeimbangkan karier dan tanggung jawab keluarga.
Budaya perusahaan yang inklusif dapat dibangun melalui program mentoring, transparansi jalur karier, dan komitmen meningkatkan jumlah perempuan di jajaran manajemen.
Sejumlah perusahaan mengarahkan program CSR untuk pemberdayaan perempuan, misalnya program “Tangan-tangan Cantik Citra” bermitra dengan pemerintah mendukung UMKM perempuan melalui pelatihan dan permodalan.
Program seperti ini membuktikan bahwa sektor swasta dapat menjadi mitra strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis gender.
Maka, baik pendekatan filosofis maupun pragmatis akan mengarah pada kesimpulan yang sama yakni peran perempuan dalam ekonomi Indonesia sangat signifikan dan harus dioptimalkan.
Itu berarti, kesetaraan gender bukan hanya soal keadilan, tetapi juga tentang efektivitas pembangunan ekonomi.
Memberdayakan perempuan memang bukan sekadar soal hak dan keadilan, tapi juga strategi pembangunan cerdas.
Dengan kebijakan inklusif serta dukungan sosial, kontribusi perempuan dalam ekonomi akan semakin optimal, menghasilkan pertumbuhan yang beriringan dengan tatanan masyarakat lebih adil dan sejahtera bagi semua.
Perempuan bukan sekadar pekerja atau pengusaha, tetapi juga pencipta, inovator, dan pemimpin yang memiliki peran sentral dalam membentuk masa depan ekonomi Indonesia.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres, Jumat (7/3), menyerukan serangkaian tindakan untuk membela dan memajukan hak-hak semua wanita dan anak-anak perempuan.
Guterres juga menegaskan komitmennya terhadap Seruan Nyata untuk Kesetaraan Gender (Gender Equality Clarion Call), yang merupakan bagian dari Rencana Akselerasi Kesetaraan Gender di seluruh Sistem PBB, yakni "Janji yang berani dan mendesak untuk membela dan memajukan hak-hak semua wanita dan anak-anak perempuan."
Maka seiring Hari Perempuan Internasional ini, sudah saatnya dunia mendengarkan suara-suara perempuan dan anak-anak perempuan sedunia, dan selalu memilih bertindak daripada bersikap apatis.
Baca juga: Hari Perempuan Internasional dan kesetaraan dalam pembangunan ekonomi