Jakarta (ANTARA) - Aktris lawas Mary Jane “Mae” West terkenal dengan kutipannya "you only live once, but if you do it right, once is enough". Hidup hanya sekali, namun jika kau lakukan dengan benar, sekali saja sudah cukup.
Makna kutipan ini adalah kita diajak untuk tidak menyia-nyiakan hidup, tetapi menjalaninya dengan sebaik mungkin agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.
Pada 2011, Rapper Drake merilis lagu “The Motto” yang mempopulerkan istilah YOLO sebagai semboyan hidup spontan dan bebas. “You only live once, that’s the motto... YOLO”. Demikian penggalan lagunya.
YOLO kemudian menjadi jargon populer di media sosial yang sering digunakan untuk membenarkan tindakan impulsif, menikmati hidup tanpa terlalu khawatir dengan konsekuensi.
Di era digital ini, banyak orang yang terjerumus ke dalam gaya hidup YOLO (You Only Live Once), yang mendorong konsumsi berlebihan demi kesenangan sesaat. Gaya hidup yang demikian terkait erat dengan fenomena FOMO (fear of missing out) alias ketakutan berlebihan tidak mengetahui tren terkini, serta FOPO (fear of people’s opinion) atau ketakutan terhadap pendapat orang lain.
Banyak orang kemudian terjebak dalam pola hidup yang tidak berkelanjutan. Mereka terjerat hutang, baik dari pinjaman online (pinjol) maupun kartu kredit, yang akhirnya menggerus mental dan produktivitas.
Sayangnya, mereka tidak menyadari bahwa gaya hidup YOLO yang dipicu oleh FOMO dan FOPO itu telah membuat mereka terjerat hutang. Mereka tergoda untuk membeli barang mewah demi pencitraan, padahal penghasilan tidak mencukupi.
Akibatnya, utang menumpuk dengan bunga tinggi, penghasilan terkuras untuk cicilan, dan tinggal sedikit untuk memenuhi kebutuhan pokok. Stres mental meningkat, produktivitas kerja atau bisnis anjlok, dan hubungan sosial rusak karena tekanan finansial.
Ada beberapa hal yang bisa menjadi jalan keluar bagi mereka yang terjebak ke dalam gaya hidup ini.
Solusi awal adalah melakukan audit keuangan. Catat semua utang, beserta bunga dan jatuh tempo. Hitung juga rasio utang terhadap penghasilan. Jika utang melebihi 50% penghasilan, prioritas utama adalah negosiasi ulang dengan kreditur untuk pembayaran bertahap.
Mental drop adalah musuh utama saat terjerat hutang. Rasa putus asa sering kali menghentikan upaya untuk bangkit.
Melepas ego menjadi langkah psikologis yang penting di sini. Salah satunya adalah dengan mengakui kesalahan perilaku konsumtif tanpa menyalahkan orang lain. Kemudian, mencari dukungan dari keluarga, teman, atau konsultan keuangan. Banyak juga komunitas wirausaha yang menyediakan bimbingan gratis.
Setelah mental stabil, langkah selanjutnya adalah memulai perbaikan. You only need one (YONO), sepertinya jargon yang tepat sebagai “antidot” untuk YOLO.
Fokus pada tiga hal utama. Pertama, mengurangi beban utang.
Langkah penting untuk mengurangi beban utang adalah dengan memprioritaskan pembayaran utang dengan bunga tertinggi, seperti pinjol.
Kedua, berusaha dengan sungguh-sungguh dengan memanfaatkan kemampuan yang dimiliki untuk meraih penghasilan. Ini bisa dilakukan dengan berwirausaha, mencari komunitas wirausaha untuk belajar, atau mengikuti pelatihan dan kursus yang relevan dengan bidang pekerjaan. Berusaha dengan halal berarti menghindari tindakan seperti menipu, kongkalikong, menimbun barang, dan aktivitas lainnya yang merugikan orang lain. Pilih pekerjaan atau bisnis yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat.
Ketiga, bersedekah meskipun situasi masih sulit. Bersedekah dapat menjadi katalis untuk mempercepat pencapaian penghasilan ideal. Mengapa? Karena bersedekah memiliki dampak psikologis yang positif sebagaimana artikel yang terbit di Psychology Today yang menjelaskan saat seseorang bersedekah (memberi), hormon-hormon pemicu rasa bahagia seperti dopamin, serotonin, dan oksitosin dilepaskan.
*) Baratadewa Sakti Perdana ST ME CPFA CPRM CPMM AWP adalah praktisi Keuangan Keluarga & Pendamping Keuangan Bisnis UMKM
Baca juga: Perilaku "beli sekarang bayar kemudian" jadi perhatian serius
Baca juga: OJK cegah masyarakat terjebak FOMO hingga FOPO