Yogyakarta (ANTARA) - Tim Dosen Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM) mengembangkan inovasi pemanfaatan biji nyamplung (Calophyllum inophyllum) sebagai pakan alternatif ramah lingkungan untuk ternak ruminansia.
Riset tersebut merupakan bagian dari Program Riset dan Inovasi untuk Indonesia Maju (RIIM) 2023-2025, hasil kerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
"Penggunaan bungkil biji nyamplung sebagai pakan tunggal, terbukti mampu menghasilkan atau menurunkan konsentrasi produksi (gas) metan pada ternak ruminansia secara in vitro," kata Ketua Tim Riset Fapet UGM Dimas Hand Vidya Paradhipta dalam keterangannya di Yogyakarta, Jumat.
Dengan mereduksi produksi gas metan pada ternak ruminansia, pakan alternatif itu dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan.
Baca juga: Peneliti UGM kembangkan potensi melon lokal jadi bahan baku kosmetik
Nyamplung merupakan salah satu jenis tanaman hutan asli Indonesia yang dapat hidup dan berkembang pada kondisi lingkungan ekstrem. Tanaman ini tersebar di banyak kepulauan di Indonesia mulai dari Sumatera hingga Papua.
Pohon nyamplung bukan merupakan tanaman pangan, namun menghasilkan buah nyamplung yang bijinya dapat dimanfaatkan sebagai sumber minyak nabati sangat baik.
Selama ini, kata dia, biji nyamplung telah dimanfaatkan sebagai minyak nabati atau biasa disebut sebagai Tamanu Crude Oil (TCO) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar nabati/biofuel, produk kesehatan, dan kosmetik.
Padahal limbah dari industri minyak nyamplung, berupa bungkilnya, ternyata masih mengandung nutrisi yang cukup tinggi dan berpotensi menjadi bahan pakan ternak yang ekonomis serta ramah lingkungan.
Baca juga: UI-UGM-NUS jalin kerja sama tingkatkan inovasi dan kewirausahaan
Pada tahun pertama penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa bungkil biji nyamplung dapat digunakan sebagai pakan ternak, terutama ternak ruminansia.
Bungkil biji nyamplung memiliki kandungan protein kasar sekitar 20 persen, lemak kasar sebesar 15,3 persen, total phenol sebesar 6,47 persen, dan total flavonoid sebesar 1,70 persen.
Namun saat ini bungkil biji nyamplung belum direkomendasikan sebagai pakan unggas, karena kandungan serat kasarnya yang tinggi, hampir 18 persen.
Hal ini dapat terjadi karena model pengepresan minyak biji nyamplung masih menggunakan sistem hidrolik.
Baca juga: Rektor UGM sebut pengembangan SDM perlu jadi prioritas pemerintahan baru
Ke depan apabila sudah menggunakan sistem pengepresan screw press expeller, kata dia, diharapkan bungkil biji nyamplung memiliki kandungan serat kasar yang lebih rendah.
"Riset tahun kedua kita berfokus pada penggunaannya dalam pakan campuran, sementara riset tahun ketiga aplikasinya pada domba," ujar dia.