Jakarta (ANTARA) - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjadi sorotan publik dalam sepekan ini, sebab kebijakan berupa larangan pengecer menjual LPG 3 kg langsung memengaruhi masyarakat di tingkat akar rumput.
Meski Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berulang kali berusaha meluruskan bahwa kebijakan tersebut lahir untuk menjaga harga jual sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) dan memastikan subsidi LPG 3 kg tepat sasaran, protes masyarakat tak dapat dihindari.
Imbas dari larangan itu adalah panjangnya antrean pembeli LPG 3 kg di pangkalan-pangkalan resmi Pertamina. Keluhan dan kritik menyertai kebijakan yang baru berlaku pada 1 Februari 2025 itu.
Respons cepat pemerintah adalah mengubah kebijakan yang waktu berlakunya jauh lebih cepat dari umur jagung itu. Per Selasa (4/2), pengecer kembali diberi izin untuk menjual LPG 3 kg dengan status barunya sebagai subpangkalan.
Berbagai elemen masyarakat, termasuk Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, menilai kebijakan larangan bagi pengecer untuk menjual LPG 3 kg terlalu mendadak diterapkan dan tidak tersosialisasikan dengan baik.
Padahal, keinginan pemerintah untuk menata penyaluran “gas melon” bukanlah hal yang baru.
Pada awal 2024, Tutuka Ariadji ketika masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengajukan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG Tabung Gas 3 kg agar subsidi LPG tepat sasaran.
Keinginan tersebut selaras dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan pada 2023 ihwal penyalahgunaan subsidi LPG 3 kg. Namun, hingga 2024 berakhir, hilal revisi peraturan soal distribusi subsidi LPG 3 kg belum muncul.
Apa yang menyebabkan larangan dadakan bagi pengecer untuk menjual LPG 3 kg?
Mahalnya harga LPG 3 kg
Sebelum Bahlil melarang pengecer menjual LPG 3 kg, terdapat berbagai keluhan dari masyarakat soal mahalnya harga gas melon.
Di Balikpapan, Kalimantan Timur, misalkan. Pada Januari 2025, harga LPG 3 kg mencapai Rp60.000, bahkan ada yang Rp70.000 di tingkat pengecer, sementara harga di pangkalan resmi penyalur LPG hanya Rp18.000.
Menurut Dinas Perdagangan Kota Balikpapan, harga tinggi di tingkat pengecer disebabkan oleh LPG 3 kg susah didapat. Temuan serupa juga terjadi di wilayah lain, sehingga membuat masyarakat bertanya-tanya apakah LPG 3 kg mengalami peningkatan harga?
Merespons hal tersebut, PT Pertamina Patra Niaga menegaskan tidak ada kenaikan harga LPG 3 kg di pangkalan resmi perusahaan di seluruh Indonesia. Harga LPG 3 kg semestinya sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan masing-masing pemerintah daerah.
Jika ada harga LPG 3 kg yang mahal, kemungkinan karena masyarakat membelinya di luar pangkalan resmi atau di pengecer. Sedangkan, Pertamina tidak memiliki kuasa untuk mengendalikan harga jual LPG 3 kg di luar pangkalan resmi, termasuk di pengecer.
Berangkat dari keinginan untuk mengendalikan harga jual, pada Jumat (31/1), Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung meminta pengecer mendaftarkan diri untuk menjadi pangkalan resmi Pertamina apabila masih ingin menjual LPG 3 kg, sebab pengecer akan dilarang untuk menjual LPG 3 kg.
Kebijakan tersebut berlaku pada 1 Februari 2025, alias satu hari sejak Kementerian ESDM secara resmi mengumumkan larangan tersebut.
Namun, menjadi pangkalan resmi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terdapat berbagai kriteria yang ditetapkan oleh Pertamina, termasuk untuk menjamin keamanan penyimpanan LPG 3 kg.
Ketidakmampuan pengecer mengimbangi kebijakan dadakan tersebut menimbulkan permasalahan distribusi di tingkat akar rumput.
Halaman berikut: Antrean panjang dan spekulasi publik
Antrean panjang dan spekulasi publik
Penerapan kebijakan tak berjalan dengan mulus. Antrean panjang muncul di berbagai titik pangkalan resmi Pertamina.
Masyarakat yang terbiasa membeli LPG 3 kg di pengecer tanpa menggunakan KTP, kini harus menunjukkan KTP-nya untuk membeli gas bersubsidi di pangkalan resmi.
Selain itu, pembatasan jumlah yang boleh dibeli juga menyebabkan warga datang berbondong-bondong bersama sanak-saudaranya untuk membeli LPG 3 kg. Dengan demikian, satu rumah tangga bisa membeli lebih banyak LPG 3 kg, jika dibandingkan dengan datang sendiri.
Jumlah pangkalan resmi yang tidak sebanyak pengecer pun mengakibatkan pembeli LPG 3 kg tidak tersebar dengan merata. Mereka yang terbiasa membeli di warung terdekat, kini berkumpul di satu titik.
Salah satu imbas dari antrean panjang tersebut adalah meninggalnya Yonih (62), seorang warga Tangerang Selatan. Berpulangnya Yonih diduga karena kelelahan setelah mengikuti antrean pengambilan tabung gas LPG 3 kg.
Tak hanya permasalahan antrean panjang, kebijakan tersebut juga memunculkan berbagai spekulasi publik di media sosial. Salah satu spekulasi yang menuai perhatian adalah beredarnya foto produk LPG 3 kg pink nonsubsidi (Bright gas) yang disebut akan menggantikan LPG 3 kg.
PT Pertamina Patra Niaga membantah kabar tersebut, lalu menegaskan bahwa untuk saat ini, produk Bright gas hanya tersedia dalam dua kemasan, yakni 5,5 kg dan 12 kg.
Foto yang beredar soal Bright gas 3 kg diduga diambil pada tahun 2018, ketika Pertamina melakukan uji pasar varian baru elpiji Bright Gas ukuran 3 kg.
Berbagai permasalahan yang muncul akibat larangan pengecer menjual LPG 3 kg menuntut Kementerian ESDM untuk bertindak cepat. Bahlil pun tak memungkiri bahwa pengecer merupakan garda terdepan yang menghubungkan pangkalan dengan masyarakat.
Halaman berikut: Alih status pengecer jadi subpangkalan
Alih status pengecer jadi subpangkalan
Dalam rapat dengan Komisi XII DPR pada Senin (3/2), Bahlil menyampaikan rencana untuk mengubah status pengecer LPG 3 kg menjadi subpangkalan LPG 3 kg.
Bagi 375 ribu pengecer yang sudah terdaftar di Pertamina, secara otomatis status mereka berubah menjadi subpangkalan sehingga tidak perlu mendaftarkan diri lagi.
Teruntuk para pengecer yang belum terdaftar sebagai subpangkalan, Kementerian ESDM bersama Pertamina akan secara aktif membekali mereka dengan aplikasi dan membantu proses perubahan status menjadi subpangkalan. Perubahan ini tidak dipungut biaya apa pun.
Pengecer yang menjadi subpangkalan wajib melaporkan penjualan LPG 3 kg kepada Pertamina. Oleh karenanya, mereka dibekali aplikasi Pertamina yang bernama MerchantApps Pangkalan Pertamina.
Melalui aplikasi tersebut, pengecer bisa mencatat siapa yang membeli, berapa jumlah tabung gas yang dibeli, hingga harga jual dari tabung gas tersebut. Guna mendukung pencatatan, masyarakat yang membeli LPG 3 kg di pengecer diwajibkan untuk membawa KTP.
Mengiringi perubahan status pengecer menjadi subpangkalan, pada Selasa (4/2), akhirnya Bahlil memberikan izin bagi pengecer untuk menjual LPG 3 kg lagi dengan status baru mereka sebagai subpangkalan.
Adapun tujuan dari pengoperasian kembali pengecer LPG 3 kg, yakni untuk menormalkan kembali jalur distribusi gas bersubsidi tersebut.
Alih status tersebut diharapkan dapat memberi angin segar bagi pemerintah maupun masyarakat. Melalui alih status, pemerintah mendapatkan data pembeli LPG 3 kg di tingkat akar rumput. Di sisi lain, pembelian LPG 3 kg juga dapat berlangsung seperti semula.
Dampak dari kebijakan terkait subsidi energi, baik subsidi untuk gas, bahan bakar minyak (BBM), hingga listrik memang terasa sangat-sangat nyata di tingkat akar rumput, lantaran subsidi bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak.
Peristiwa-peristiwa yang menyertai implementasi "kebijakan dadakan" distribusi gas melon selayaknya menjadi pelajaran mahal bagi pemerintah. Terlebih, ketika kebijakan yang ditetapkan itu menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
Tidak ada nyawa seharga subsidi, maka hendaklah pemerintah lebih berhati-hati.