Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta aparat penegak hukum agar menggunakan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam menangani kasus KDRT pada perkawinan yang belum tercatat.
"Kami menyampaikan rekomendasi umum Komnas Perempuan agar UU PKDRT digunakan juga dalam menangani kasus KDRT pada konteks perkawinan yang belum tercatat," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.
Dia mengatakan bahwa dalam 20 tahun terakhir, kasus KDRT paling banyak dilaporkan, terutama kekerasan terhadap istri.
Berdasarkan data Komnas Perempuan, setiap jam sekurangnya ada tiga perempuan dalam posisi sebagai istri yang menjadi korban kekerasan.
Ia menuturkan berdasarkan hasil kajian Catatan Tahunan Komnas Perempuan dari 2001 hingga 2023 memperlihatkan sekurangnya terdapat 582.780 laporan kekerasan di ranah personal sejak UU PKDRT disahkan, termasuk sebanyak 94 persen atau 491.067 kasus adalah kekerasan terhadap istri dan 3,56 persen atau 18.577 kasus kekerasan terhadap anak perempuan.
Sementara itu, dari 3.709 kasus kekerasan terhadap istri yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan dari tahun 2019 hingga 2023, sebanyak 50 persen adalah KDRT psikologis, 31 persen kekerasan fisik, 16 persen penelantaran dan kekerasan ekonomi lainnya, dan 3 persen kekerasan seksual.
Dari jumlah tersebut, 222 kasus berkaitan dengan perebutan anak dan 309 kasus merupakan KDRT yang masih berlanjut meski pasangan telah bercerai.
"Temuan ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidak selalu berakhir dengan putusnya ikatan perkawinan," katanya.
Menurut Andy Yentriyani, pola kekerasan yang terungkap dalam kajian ini menampilkan spektrum yang luas selain kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi.
"Pola-pola ini sering kali berkelindan dengan bentuk kekerasan lainnya, menciptakan jerat yang sulit diputus oleh para korban," katanya.
Anggota Komnas Perempuan Theresia Iswarini menambahkan dalam perkawinan tidak tercatat, kondisi korban KDRT menjadi lebih buruk karena kerap diabaikan dari proses penanganan dan pemulihan sesuai UU PKDRT.