Sore itu rintik hujan membasahi kawasan permukiman Badui di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Tim sukarelawan yang terdiri atas empat dokter muda dan dua perawat dari Sahabat Relawan Indonesia (SRI) sore itu menyusuri jalan licin, melintasi perbatasan kawasan permukiman masyarakat Badui.
Ruas jalan kecil bebatuan itu, di kiri dan kanannya, merupakan tebing curam yang berbahaya bagi pelintas. Apalagi bila dalam kondisi licin setelah dibasahi air hujan.
Mobil penumpang berukuran sedang pun tidak bisa melintas jalan di perbatasan kawasan Badui.
Tim dokter yang didampingi perawat, sore pekan lalu itu berada di Klinik Poskesdes SRI Cijahe atau pintu gerbang Badui Dalam. Tim sukarelawan ini hendak menuju Klinik Poskesdes Nangerang yang jaraknya kurang lebih 8 kilometer.
Perjalanan harus menggunakan mobil semi-offroad agar mampu melewati jalan bebatuan dengan kondisi medan berbahaya. Sesekali tim medis itu mengucapkan "Allah Akbar" serta berselawat saat jalan menanjak maupun turun tajam agar selamat sampai tujuan.
Tim kesehatan akhirnya tiba di Klinik Poskesdes Nangerang. Petang menjelang magrib, mereka membagikan makanan bergizi untuk anak -anak Badui dan langsung mendatangi anak pengidap
stunting usia 2 tahun.
stunting usia 2 tahun.
Ketika hari mulai gelap, sukarelawan tersebut menginap di Klinik Poskesdes Nangerang. Esok hari tim kesehatan memasuki kawasan permukiman adat masyarakat Badui.
Tim medis bersama Koordinator SRI harus berjalan kaki menembus hutan dengan kondisi jalan terjal. Topografi kawasan permukiman Badui ini memang berupa pegunungan dan perbukitan.
Kawasan Badui tidak ada infrastruktur jalan dan jaringan listrik. Kendaraan roda dua maupun roda empat pun dilarang melintas di kawasan ini.
Perjalanan memang cukup berat dengan membawa peralatan kesehatan, obat-obatan, dan makanan. Mereka harus mengunjungi kampung-kampung di kawasan Badui Luar untuk memberikan pelayanan pemeriksaan kesehatan dasar dan pengobatan bagi anak-anak, orang dewasa, serta usia lanjut, termasuk anak stunting.
Tim medis juga harus mengunjungi perkampungan Badui Dalam yang tersebar di Kampung Cibeo, Cikawartana, dan Cikeusik.
Namun, lelah dan perjalanan menantang itu setimpal karena tokoh adat masyarakat Badui Dalam menyambut baik dan mengizinkan tim medis melakukan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan.
Masyarakat Badui Dalam hingga kini tidak bersedia dirujuk ke RSUD Banten maupun RSUD Adjidarmo Rangkasbitung karena dilarang adat, terlebih menggunakan kendaraan.
Masyarakat Badui Dalam--ke mana pun pergi-- harus berjalan kaki. Ini berbeda dengan masyarakat Badui Luar.
"Kami kesulitan untuk membawa warga Badui Dalam untuk dirujuk ke rumah sakit karena terhalang adat sehingga tim medis harus mendatangi mereka," kata Ketua Koordinator SRI Muhammad Arif.
SRI yang melayani pemeriksaan kesehatan dan pengobatan di kawasan permukiman Badui tahun 2018 hingga kini terus berlanjut untuk meningkatkan kesehatan masyarakat adat.
Bahkan, saat ini komunitas itu memiliki tiga pos klinik poskesdes di pintu gerbang perbatasan masyarakat Badui, yakni Klinik Poskesdes Nangerang, Klinik Poskesdes Ciboleger, dan Klinik Poskesdes Cijahe.
Pembangunan klinik poskesdes tersebut dibangun atas bantuan sejumlah perusahaan badan usaha milik negara (BUMN).
Menteri BUMN juga telah membantu dengan membangun Terminal Binong, kawasan UMKM dan Jembatan Cijahe, alat kesehatan, serta beasiswa bagi bidan desa di Badui.
Ingin sehat
Masyarakat Badui Luar maupun Badui Dalam pada hakikatnya juga ingin hidup sehat tanpa penyakit. Namun, pengobatan medis di permukiman Badui sampai kini masih menjadi tantangan karena ada halangan adat.
Sebagian besar masyarakat Badui, jika sakit, masih mempercayai pengobatan ke dukun juga pengobatan menggunakan dedaunan.
Begitu juga persalinan, masih banyak pergi ke dukun beranak atau paraji. Jika mengalami komplikasi pendarahan barulah menghubungi petugas medis.
Permukiman kawasan adat Badui seluas 5.200 hektare dengan 68 perkampungan serta 11.600 jiwa. Di sini tidak ada fasilitas kesehatan, seperti puskesmas maupun klinik.
Masyarakat Badui Luar baru berobat jika kondisinya sudah parah. Ketika kondisinya makin memburuk baru mendatangi puskesmas maupun klinik poskesdes di perbatasan itu.
Petugas medis dari lembaga kemanusiaan itu kerap kali merujuk ke RSUD Banten ketika kondisi penyakitnya sudah parah.
Sukarelawan sejauh ini sudah menjalin kerja sama dengan RSUD Banten untuk menerima pasien warga Badui bagi yang tidak memiliki BPJS Kesehatan.
Ketika berobat, pasien warga Badui menggunakan surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari desa setempat sehingga perawatan medis gratis.
Manajer Riset "Si Anak Hebat" dr. Iffah Dias mengatakan pihaknya bekerja sama dengan SRI menangani anak-anak Badui agar terbebas dari stunting.
Organisasi itu fokus menangani kasus stunting di Banten khususnya di permukiman Badui di pedalaman Kabupaten Lebak, agar anak-anak dapat tumbuh sehat dan optimal.
Organisasi yang baru usia 1 tahun itu sebelumnya juga melakukan penanganan stunting di Kabupaten Kulonprogo, D.I. Yogyakarta.
Selain memberikan penyuluhan dan edukasi pencegahan stunting, sukarelawan itu juga memberikan pengobatan serta membentuk kelompok ibu-ibu untuk membuat aneka makanan lokal yang memiliki kandungan gizi dan protein.
Program yang dijalankan itu juga untuk membantu Pemerintah mengurangi angka stunting.
Permasalahan stunting disebabkan oleh banyak faktor dan bukan hanya gizi anak, tetapi juga gizi ibu, lingkungan, penyakit kronis, infeksi, dan penyakit lainnya.
Lembaga sosial itu memilih permukiman Badui karena dekat dengan ibu kota, tetapi masih jauh dari akses kesehatan dan angka stuntingnya pun tinggi.
"Kami dalam waktu dekat akan mencari data dan bagaimana kasus stunting di Badui, apa faktor lingkungan atau tingginya penyakit tuberkulosis yang bisa menimbulkan tengkes itu," katanya menjelaskan.
Pelaksana Harian Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak dr. Budi Mulyanto mengapresiasi lembaga sosial yang memberikan pelayanan kesehatan dan pengobatan di permukiman masyarakat Badui.
Kehadiran sukarelawan itu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Badui. Kini, perlahan-lahan masyarakat Badui mulai menerima pengobatan dan perawatan medis bahkan mau dirujuk ke rumah sakit.
Sebelumnya, masyarakat Badui melarang pelayanan kesehatan dan pengobatan dengan alasan adat, tetapi sekarang khusus masyarakat Badui sangat membutuhkan tenaga medis jika mereka sakit.
Lembaga sosial itu bisa diterima pemuka adat masyarakat Badui sehingga warga Badui mau berobat dan menerima pelayanan kesehatan.
Ayah Ardi (55), warga Badui Dalam, mengaku sempat setahun tidak bisa berjalan karena kaki sebelah kiri terluka dan membusuk.
Namun, kini kakinya sudah pulih setelah ditangani kesehatan organisasi sosial itu.
Saat ini, masyarakat Badui Dalam mendapatkan layanan pengobatan dan pemeriksaan kesehatan secara gratis di permukiman.
Namun, mereka masih menolak menjalani pengobatan dan perawatan medis ke RSUD Banten dan RSUD Adjidarmo Rangkasbitung.
Penolakan itu berdasarkan adat masyarakat Badui Dalam yang hingga kini masih kuat memegang aturan leluhur.
Sukarelawan juga ingin mewujudkan masyarakat Badui bebas kesakitan tuberkulosis (TB), gigitan ular berbisa, kematian ibu, serta anak. Caranya, warga bersedia ditangani tenaga medis.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M