Istanbul (ANTARA) - Matahari telah mencapai periode maksimum Matahari (solar maximum), yang diperkirakan akan berlangsung hingga tahun depan, menurut para peneliti dari tiga lembaga ilmu atmosfer, termasuk Lembaga Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), Badan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA), serta Panel Prediksi Siklus Matahari, dalam sebuah telekonferensi.
Setiap 11 tahun, Matahari beralih antara aktivitas magnetik rendah dan tinggi.
Selama puncak aktivitas ini, kutub magnetik Matahari berbalik, dan Matahari bertransisi dari kondisi tenang ke keadaan aktif dan penuh badai, menurut pernyataan NASA yang dipublikasikan pada Selasa (15/10).
Baca juga: BMKG ungkap fenomena hari tanpa bayangan di Bali 13-15 Oktober 2024
Baca juga: BMKG nyatakan Gerhana Matahari Cincin tak menimbulkan dampak di Indonesia
"Selama periode maksimum Matahari, jumlah bintik Matahari, dan dengan demikian jumlah aktivitas Matahari, meningkat," kata Jamie Favors, Direktur Program Cuaca Antariksa di Markas Besar NASA di Washington.
"Peningkatan aktivitas ini memberikan kesempatan menarik untuk mempelajari bintang terdekat kita, tetapi juga membawa dampak nyata bagi Bumi dan seluruh tata surya kita," tambahnya.
Aktivitas Matahari sangat mempengaruhi kondisi di luar angkasa yang dikenal sebagai cuaca antariksa.
Aktivitas Matahari dapat memengaruhi satelit dan astronot di luar angkasa, serta sistem komunikasi dan navigasi, seperti radio, GPS, dan jaringan listrik di Bumi.
Baca juga: BMKG pastikan fenomena udara panas yang melanda Indonesia beberapa hari terakhir bukan "heatwave"
"Pengumuman ini tidak berarti bahwa ini adalah puncak aktivitas Matahari. Kita akan melihat siklus Matahari ini," kata Elsayed Talaat, Direktur Operasi Cuaca Antariksa di NOAA.
Dia menambahkan, "Meskipun Matahari telah mencapai periode maksimum, kepastian di bulan apa, di mana aktivitas Matahari akan memuncak belum dapat diidentifikasi selama beberapa bulan atau bahkan tahun mendatang."
Sumber: Anadolu