Jakarta (Antara Megapolitan) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan empat syarat pemanfaatan keuangan haji untuk kepentingan investasi dan pembangunan infrastruktur.
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Ni'am mengatakan hal itu pada diskusi "Investasi Infrastruktur dari Dana Haji" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa.
"MUI sejak jauh hari sudah melakukan kajian, pembahasan, dan penetapan fatwa, terkait pemanfaatan dana haji. Penetapan fatwa MUI ini agar tidak ada tarik-menarik kepentingan politik sehingga memunculkan pro-kontra," kata Asrorun.
Asrorun menjelaskan, Komisi Fatwa MUI melalui forum ijtima' di salah satu pondok pesantren di Tasikmalaya, pada Juli 2012, telah membahas pemanfaatan dana haji yang mengendap dari jamaah haji yang masih "waiting list".
Forum ijtima' tersebut diikuti oleh Komisi Fatwa MUI Pusat, Komisi Fatwa MUI Provinsi se-Indonesia, lembaga-lembaga fatwa dan ormas Islam tingkat pusat, serta pimpinan pondok pesantren dan perwakilan perguruan tinggi se-Indonesia.
Dari forum ijtima' tersebut, menurut dia, dicapai empat kesepakatan, yang pada prinsipnya menjawab pertanyaan, dana calon jamaah haji yang belum mencapai Rp25 juta dan belum mendapat nomor porsi.
Dalam kondisi ini, menurut dia, hubungannya antara calon jamaah dengan bank penerima setoran, akadnya ada dua opsi.
Pertama, akad wadi'ah. Artinya, dana itu nitip saja sehingga tak ada faidah, tidak ada bagi hasil.
Kedua, akad mudhorobah, yakni saat tabungan calon jamaah haji mencapai Rp25 juta, maka mendapat nomor porsi dan masuk dalam "waiting list".
"Sebelum maupun setelah mencapai Rp25 juta, statusnya belum billing karena belum tahu berapa biaya hajinya. Uang setoran itu statusnya masih milik calon jamaah haji," katanya.
Menurut Asrorun, pertanyaan berikutnya, dana jamaah haji yang terkumpul, apakah ditidurkan saja atau diproduktifkan.
"Dana tersebut kalau ditidurkan kan menyusut karena inflasi, sehingga kemudian diproduktifkan," katanya.
Setelah disepakati dana calon jamaah haji tersebut boleh diproduktifkan, tapi harus memenuhi empat syarat yang tertuang dalam Fatwa MUI.
Keempat syarat tersebut, pertama, boleh ditasarufkan tapi harus dipastikan jenis usahanya memenuhi prinsip-prinsip syariah.
Kedua, terkait dengan prudensialitas atau aman. Logikanya seperti pengelolaan dana wakaf, yakni tidak boleh berkurang, tapi harus dikembangkan dan memiliki nilai manfaat.
Ketiga, adalah manfaat. Kalau ada manfaatnya baik kepada jamaah haji untuk kepentingan kemaslahatan jamaah dan kemaslahatan umat Islam.
"Bukan Investasinya tapi hasil investasinya, bisa saja diinvestasikan untuk pembangunan gedung, hasilnya baik untuk kemaslahatan sepanjang ketentuannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah," katanya.
Keempat, adalah liquid, artinya dana ini dibutuhkan dalam waktu terus-menerus, rata-rata kebutuhan jamaah haji Rp3,5 triliun per tahun.
"Ini harus ada bapernya, artinya ada prinsip likuiditas. Kalau kepentingannya untuk infrastruktur dan sebagainya, disinilah kecerdasan BPKH," katanya.