Open Climate Change Financing in Indonesia (OCFI) menginginkan agar partisipasi yang lebih besar perempuan dalam gerakan penanganan perubahan iklim.
“Penting untuk meningkatkan pelibatan masyarakat di semua level terutama kaum perempuan hingga pada pengambilan keputusan, mulai dari tahapan perencanaan hingga pelaksanaan program pembangunan rendah karbon. Perempuan harus diberi tempat istimewa mulai dari perumusan rencana aksi hingga pelaksanaan di lapangan," kata Peneliti Senior OCFI Elisabeth Kusrini dalam keterangannya, Kamis.
Dengan membuka akses yang lebih besar bagi partisipasi perempuan dalam lapangan kerja hijau, berarti meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi lokal semakin berkembang.
Elisabeth menjelaskan, dalam konteks pembangunan rendah karbon Gender Equality and Social Inclusion (GESI) merupakan alat yang digunakan untuk analisis kesenjangan antara lelaki dan perempuan, non-disabilitas dan disabilitas, serta kelompok inklusi lainnya.
Konsep GESI sering digunakan sebagai parameter untuk memastikan kebijakan dapat memberikan perhatian khusus pada kesetaraan gender dan pelibatan kelompok marginal termasuk penyandang disabilitas.
“Dalam konteks perubahan iklim, dampak yang terjadi akibat perubahan iklim akan terdistribusi secara berbeda-beda antarkawasan, generasi, kelompok usia, kelompok pendapatan termasuk gender. Perbedaan dampak ini disebabkan adanya ketimpangan akses sumber daya keuangan, kepemilikan tanah, dan juga pengembangan pengetahuan dan keterampilan,” terang Elisabeth.
Dampak ini kemudian akan lebih parah bagi kelompok rentan dan termarjinalkan yang memiliki kerentanan lebih tinggi dalam merespons dan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Jika terus berlanjut maka ketimpangan gender dan sosial ini akan mengakibatkan diskriminasi terhadap kelompok gender dan sosial.
“Sebagai kelompok yang paling bertanggung jawab dalam memastikan ketahanan pangan dan energi keluarga, kesulitan yang dihadapi perempuan dalam melakukan tugas sehari-hari kian meningkat karena perubahan iklim, termasuk kekeringan, banjir, dan gagal panen,” tambah dia.
Di sisi lain, penyandang disabilitas menjadi salah satu kelompok yang mengalami efek perubahan iklim yang lebih intens akibat diskriminasi, marjinalisasi, dan keterbatasan akses pada sumber daya sosial dan ekonomi. Cuaca ekstrem dan degradasi lingkungan yang disebabkan oleh perubahan iklim dapat mengakibatkan perpindahan paksa.
Penyandang disabilitas menghadapi risiko perpindahan paksa akibat iklim yang lebih tinggi yang memaksa mereka mendiami lingkungan yang telah terdegradasi tanpa rumah, pekerjaan dan layanan kesehatan. Risiko mereka jatuh kepada kemiskinan juga semakin meningkat akibat semakin parahnya ketidaksetaraan.
“Oleh sebab itu, penting untuk melibatkan kelompok gender dan kelompok inklusi sosial lainnya termasuk penyandang disabilitas dalam diskusi seputar perubahan iklim, risiko iklim, dan aksi iklim, untuk memahami kebutuhan, pengalaman, dan perspektif mereka terkait perubahan iklim. Dengan mengintegrasikan seluruh kelompok sosial dalam diskusi perubahan iklim dan proses pengambilan keputusan, program dan kegiatan tersebut dapat menjamin keberlanjutan aksi iklim yang mereka jalankan,” tegas Elisabeth.