Madiun (ANTARA) - Duduk di bangku kayu di warung kopi dan makanan siomay, jari-jemari kecil milik bocah berusia sekitar lima tahun itu bergerak lincah memainkan rambut bonekanya.
Sesekali mulut mungilnya mengeluarkan kata-kata kurang jelas, tertawa kecil (cekikikan), hingga senandung nyanyian secara bergantian, seakan ia sedang mengobrol dengan bonekanya itu.
Menjadi keseharian Cahaya, nama si bocah, ikut sang ibu dan ayah berjualan makanan dan minuman di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kelurahan Kartoharjo, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun, Jawa Timur, yang menjadi tempat mangkalnya.
Karena tak ada yang menjaga di rumah, maka Cahaya sering ikut orang tuanya berjualan di lokasi yang berada di sekitar perkantoran tersebut. Demikian juga dengan sang kakak yang duduk di bangku kelas V salah satu SD negeri di Kota Madiun.
Meski harus menghabiskan waktunya ikut ayah dan ibu berjualan, Cahaya kecil tetaplah ceria. Terkadang ia bermain dan berlarian bersama teman sebayanya yang juga ikut orang tuanya berjualan mengais rezeki di kawasan sekitar.
"Sudah lama saya berjualan siomay dan minuman di sekitar sini. Saya yang masak siomay, bapak bantu yang buatin minuman teh atau kopi jika ada pelanggan yang beli," ujar Kasni, ibu dari Cahaya.
Tak hanya siomay, ada beberapa makanan lain yang dijualnya. Ada batagor, jagung susu keju atau biasa dikenal "jasuke", hingga aneka gorengan. Untuk minuman, selain kopi dan teh, Kasni juga menyediakan aneka minuman kemasan yang ditata berjejer rapi di gerobak kayunya.
"Semua masak sendiri. Masaknya ya di sini, pakai kompor gas dua tungku dan elpiji 'melon'," katanya, sambil menunjuk pada tabung elpiji ukuran 3 kilogram warna hijau di samping gerobaknya.
Dalam menjalani pekerjaan sebagai pedagang makanan, perempuan berusia 30-an tahun tersebut mengaku hanya ingin agar bahan-bahan pangan dan elpiji yang menjadi modalnya berjualan, tersedia dengan mudah di pasaran.
Dia menjelaskan maksudnya, harga bahan pangan yang dibelinya di pasar stabil serta elpiji yang digunakannya sebagai bahan bakar memasak bisa didapatkan dengan harga terjangkau.
Baca juga: Mengalihkan penggunaan kompor minyak tanah ke elpiji warga Maluku
Namun, tak dipungkiri keinginannya tersebut terkadang tak sesuai. Nyatanya, saat ini sejumlah bahan pangan penting harganya sedang "melangit", mulai dari beras hingga gula pasir. Sebelumnya harga komoditas minyak goreng dan telur ayam ras juga "memukul" para pelaku UMKM sektor makanan seperti dirinya, karena harganya yang tinggi.
Selain itu, ketersediaan elpiji subsidi juga sempat membuatnya gundah pada pertengahan tahun 2023 ini. Keberadaan bahan bakar utama tersebut pernah sulit dicari, meski kini telah gampang seiring dengan masifnya sosialisasi subsidi tepat sasaran yang dilakukan PT Pertamina bersama pemda setempat.
"Kalau harganya tinggi dan barangnya ada, mungkin masih bisa diterima. Namun, kadang yang terjadi itu barangnya tidak ada, dan kalaupun ada, sangat mahal," katanya.
Keinginan yang diungkapkan oleh Kasni tersebut seperti mewakili harapan puluhan ribu pelaku UMKM sektor makanan di Kota Madiun, bahkan jutaan pelaku UMKM lain di Tanah Air.
Harapan itu sangat sederhana, yakni agar usaha jualan makanannya dapat terus berjalan, sehingga ia dan suami memiliki pendapatan untuk menghidupi keluarga.
Energi utama
"Liquified petroleum gas" (LPG) atau yang biasa dikenal dengan sebutan elpiji telah memiliki peran penting di masyarakat. Hal tersebut karena gas cair itu digunakan sebagai bahan bakar utama ketika memasak. Oleh karenanya, bahan bakar ini memiliki pengaruh signifikan dalam kehidupan sehari-hari.
Keberadaan elpiji saat ini tak lepas dari program konversi minyak tanah ke elpiji yang digulirkan pemerintah sejak tahun 2007.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI dalam laman resminya menyebutkan bahwa konversi minyak tanah ke elpiji merupakan upaya menghemat keuangan negara, energi, sekaligus menggerakkan ekonomi bangsa.
Minyak tanah yang biaya produksinya setara dengan avtur, saat itu dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah yang terkonsentrasi di perdesaan, sehingga pemerintah memberikan subsidi harga.
Kebijakan subsidi yang sudah berlangsung bertahun-tahun tersebut cukup membebani keuangan negara. Konsumsi minyak tanah sebelum dilakukan konversi mencapai kisaran 12 juta kilo liter (KL) setiap tahun. Ketika itu, besaran subsidi mencapai sekitar Rp25 triliun. Angka tersebut berubah sesuai dengan basis asumsi harga minyak mentah dunia maupun volume.
Biaya produksi minyak tanah tanpa subsidi, kala itu adalah sekitar Rp6.700/liter. Jika dengan subsidi adalah Rp2.500/liter. Untuk satu satuan setara minyak tanah, biaya produksi LPG tanpa subsidi adalah Rp4.200/liter, sedang LPG dengan subsidi adalah Rp2.500/liter. Karena itu, pemanfaatan LPG jelas mengurangi konsumsi subsidi minyak tanah.
Selain biaya produksi lebih murah, untuk satu satuan yang sama, kalori LPG juga lebih tinggi dibanding minyak tanah, sehingga biaya pemakaian LPG untuk keperluan memasak, juga lebih murah.
Pada awal digulirkan, program konversi minyak tanah ke elpiji memiliki sasaran atau target sekitar 40 juta kepala keluarga (KK) miskin yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan 40 juta kompor LPG beserta asesorisnya, serta 100 juta tabung LPG 3 kilogram.
Baca juga: Membongkar potensi korupsi elpiji subsidi dan pencegahannya ala Stranas PK
Data Kementerian ESDM RI menyebutkan sejak mulai dilaksanakan tahun 2007 hingga menjelang akhir 2010, telah dibagikan paket perdana 44.675.000 ke seluruh wilayah Indonesia atau lebih dari 100 persen dari target.
Sebanyak 3.793.000 metrik ton (MT) LPG telah dikonsumsi masyarakat sasaran, sedangkan minyak tanah yang ditarik mencapai 11.317.000 KL. Penghematan yang berhasil dilakukan mencapai sebesar Rp19,34 triliun. Jumlah tersebut masih bertambah guna memenuhi kebutuhan stok dan "rolling" hingga saat ini.
Selain penghematan keuangan negara dalam APBN, pelaksanaan konversi minyak tanah ke LPG juga membawa dampak bergulir dalam kegiatan ekonomi masyarakat.
Seiring dengan ditariknya minyak tanah hingga saat ini, elpiji bersubsidi telah menjadi salah satu energi utama bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, dengan berbagai dinamikanya.
Tidak dipungkiri, dalam penyalurannya juga kerap terjadi salah sasaran, karena harganya dinilai lebih terjangkau, juga rawan penyalahgunaan, hingga pengoplosan.
Karenanya, penggunaan bahan bakar elpiji yang hingga kini telah menjangkau seluruh kawasan Indonesia merupakan program pemerintah yang membutuhkan keterlibatan beberapa intansi untuk pengawasannya, termasuk juga PT Pertamina sebagai penyalur maupun kalangan swasta yang menjadi mitra dari Pertamina sebagai pengelola SPBE, angkutan, sampai agen, maupun pangkalan elpiji subsidi.
Tepat sasaran
Menggunakan elpiji bukan hanya persoalan teknis, namun juga sarat dengan aspek sosial, budaya, dan ekonomi di masyarakat. Hal itu sama peliknya dengan pelaksanaan konversi minyak tanah ke elpiji kala itu yang telah menjadi kebiasaan turun temurun dari generasi ke generasi.
Karenanya pemerintah terus berupaya untuk menemukan formula yang pas demi ketersediaan energi negeri yang terjaga di tengah tantangan penghematan APBN serta komitmen Indonesia untuk mencapai target net zero emission pada tahun 2060.
Terbaru, Presiden RI Joko Widodo telah mengamanatkan untuk melakukan transformasi subsidi elpiji tabung 3 kilogram demi menjaga bahan bakar tersebut tepat sasaran.
Dengan transformasi tersebut, subsidi yang selama ini masih berbasis komoditas nantinya akan menjadi berbasis orang atau penerima manfaat atau tepat sasaran. Pelaksanaannya akan dilakukan secara bertahap dengan melihat kondisi ekonomi dan sosial masyarakat.
Adapun program trasformasi tersebut berlatar belakang dari subsidi elpiji tabung 3 kilogram yang mengambil porsi terbesar jika dibandingkan dengan subsidi BBM dan listrik. Data Kementerian ESDM menyebutkan, anggaran belanja subsidi energi tahun 2023 ditetapkan sebesar Rp211,9 triliun.
Subsidi tersebut untuk bahan bakar minyak (BBM), elpiji (LPG) tabung 3 kilogram, dan listrik. Dimana, subsidi BBM mencapai Rp21,5 triliun, elpiji 3 kilogram Rp117,8 triliun, dan listrik Rp72,5 triliun.
Sebagai tindak lanjut amanat Presiden tersebut, sejak 1 Maret 2023, Kementerian ESDM RI dan PT Pertamina telah melakukan registrasi atau pendataan konsumen pengguna elpiji 3 kilogram, sebagai bagian dari Program Pendistribusian LPG 3 kilogram Tepat Sasaran.
Selanjutnya, mulai 1 Januari 2024, hanya konsumen yang telah terdata saja yang boleh membeli LPG tabung 3 kilogram.
Baca juga: Kenaikan HET elpiji subsidi harus dibarengi peningkatan pengawasan agar tepat sasaran
Hal tersebut dikuatkan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri ESDM Nomor 37.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Petunjuk Teknis Pendistribusian Isi Ulang Liquefied Petroleum Gas Tertentu Tepat Sasaran dan Keputusan Dirjen Migas Nomor 99.K/MG.05/DJM/2023 tentang Penahapan Wilayah dan Waktu Pelaksanaan Pendistribusian Isi Ulang Liquefied Petroleum Gas Tertentu Tepat Sasaran.
Terkait dengan menjaga ketahanan dan ketersediaan energi, Pertamina akan terus mendukung tugas yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan produksi migas dan implementasi penyaluran sesuai dengan target yang ditetapkan.
Section Head Communication & Relations PT Pertamina Patra Niaga Jatimbalinus Taufiq Kurniawan menyatakan mitra, seperti agen dan pangkalan sebagai ujung tombak program tersebut, harus dikelola dengan baik, agar program trasformasi subsidi dapat berjalan lancar.
Kegiatan sosialisasi program tersebut juga intensif dilakukan, tak hanya pada mitra agen dan pangkalan, namun juga masyarakat, terutama di wilayah kerja Pertamina Patra Niaga Jatimbalinus.
Selain trasformasi subsidi, Pertamina Patra Niaga Jatimbalinus bersinergi dengan pemda secara masif juga melakukan sosialisasi program "trade in" atau penukaran tabung elpiji ukuran 3 kilogram ke tabung Bright gas atau non-subsidi, sebagai upaya mendukung subsidi pemerintah tepat sasaran.
Program penukaran tersebut dilakukan karena banyak ditemukan penyalahgunaan elpiji bersubsidi di tingkat konsumen, sehingga diduga mempengaruhi ketersediaannya di pasaran.
Data Ditjen Migas Kementerian ESDM menyebutkan realisasi volume elpiji 3 kilogram (PSO) setiap tahunnya menunjukkan peningkatan.
Tercatat tahun 2019, realisasinya mencapai 6,84 juta metrik ton dari kuota 6,98 juta metrik ton, tahun 2020 sebesar 7,14 juta metrik ton dari kuota 7,00 juta metrik ton. Angka itu naik menjadi 7,46 juta metrik ton tahun 2021 dari kuota 7,50 juta metrik ton, dan tahun 2022 sebesar 7,80 juta metrik ton dari penetapan kuota 8,00 juta metrik ton.
Sementara tahun 2023, hingga bulan Mei, penyaluran mencapai 3,32 juta metrik ton dari kuota yang ditetapkan sebesar 8,00 juta metrik ton.
Sebaliknya, realisasi elpiji non-PSO atau non-subsidi terus turun. Tahun 2019, volumenya mencapai 0,66 juta metrik ton, tahun 2020 sebesar 0,62 metrik ton. Angka itu turun lagi tahun 2021 menjadi sebesar 0,60 metrik ton, dan 0,46 juta metrik ton tahun 2022. Sementara tahun 2023 sampai bulan Mei 2023 sebesar 0,15 juta metrik ton.
Melihat data tersebut, maka diketahui banyak konsumen yang semula menggunakan elpiji non-PSO, beralih menggunakan elpiji PSO. Atau terjadi penyalahgunaan pendistribusian elpiji 3 kilogram.
Berdasarkan aturan, elpiji bersubsidi hanya boleh digunakan untuk masyarakat miskin, petani sasaran, nelayan sasaran, serta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Karenanya, sebagai sub-holding di bidang "commercial & trading", Pertamina Patra Niaga berkomitmen terus mendorong agar warga yang mampu, seperti aparatur sipil negara atau ASN dan pelaku sektor usaha riil, seperti kafe, restoran, hotel, peternakan, hingga tempat-tempat usaha jasa pencucian baju, agar menggunakan bahan bakar elpiji non-subsidi.
"Kami berharap pengguna Bright gas di wilayah Jatimbalinus dapat terus meningkat, dengan demikian penggunaan elpiji subsidi dapat tepat sasaran," kata Taufiq.
Ia juga mengapresiasi dukungan pemerintah daerah yang sudah menggalakkan gerakan sadar non-subsidi bagi masyarakat mampu, sehingga mempengaruhi peningkatan penjualan elpiji non-subisidi, khususnya Bright gas, utamanya pada ASN, TNI/Polri, BUMN, dan BUMD.
Dengan demikian, harapannya agar pelaku UMKM di seluruh negeri, seperti Kasni si penjual minuman dan siomay, dapat memanfaatkan haknya untuk memperoleh kebutuhan dasar akan energi, yang tentunya akan dapat terus menjaga senyum "Cahaya-Cahaya" lainnya tetap merekah.
Menjaga ketersediaan energi demi senyum Cahaya tetap merekah
Oleh Louis Rika Stevani Senin, 30 Oktober 2023 6:13 WIB