Jakarta (ANTARA) - Polri berkomitmen terus menjaga kemerdekaan pers dan kebebasan jurnalis dalam melaksanakan tugasnya. Namun demikian, Polri berharap jurnalis tidak menyalahgunakan kemerdekaan dan kebebasannya untuk kepentingan pribadi.
Ketegasan itu disampaikan oleh Kadiv Humas Polri Irjen Pol. Dr. Sandi Nugroho, S.I.K, S.H., M.Hum dan dua pembicara dari unsur Polri dalam dialog publik "Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Jurnalis" yang diselenggarakan Divisi Humas Polri, di Hotel Grand Dhika, Melawai, Jaksel, Rabu (31/5) siang
Kadiv Humas Polri Irjen Pol. Sandi Nugroho dalam sambutan tertulis yang dibacakan Karo PID Brigjen Pol. Drs. Hendra Suhartiyono, M.Si mengatakan, pers harus mampu menempatkan diri dalam posisi yang berkeadilan. "Jangan menjadi sumber gaduh," tegasnya.
Diakui Kadiv Humas Polri bahwa tingkat kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia dapat dikategorikan merisaukan. Mengutip data AJI jumlah kekerasan pertahun masih di atas 50 kasus, sebagian besar terjadi saat jurnalis melakukan kekerasan maupun setelah karya jurnalistiknya terbit.
Ia menyebut adanya tiga fenomena terkait kekerasan terhadap jurnalis, yaitu: serangan digital mulai dari doxing atau menyebarkan informasi pribadi jurnalis, munculnya kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan, dan maraknya kekerasan terhadap pers mahasiswa.
Terkait hal itu Kabagluhkum Divisi Hukum Polri Kombes Adi Ferdiansyah Putra mengedepankan penggunaan hak jawab jika ada sengketa antara masyarakat dan pers.
"Polri mengedepankan penyelesaian keperdataan dan mediasi. Sementara penyelesaian pidana menjadi pilihan terakhir," ujar Adi.
Sedangkan Kombes Pol. Basuki Effendi dari Bareskrim Polri mengakui adanya MoU antara Dewan Pers dan Polri jika ada kasus menyangkut penyalahgunaan etika pers dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini sudah dilakukan Polri dengan menyampaikan kasus-kasus penyalahgunaan Kode Etik Jurnalistik ke Dewan Pers.
Namun ia meminta agar pers mengedepankan asas praduga tidak bersalah dalam menyampaikan pemberitaan. Ia mengingatkan pelanggaran terhadap hal ini berpotensi menjadi pelanggaran tindak pidana.
"Kalau melanggar kode etik untuk kepentingan pribadi itu melanggar hukum," tegas Basuki.
Jaga Kepercayaan
Dosen Program Studi Vokasi Komunikasi UI Dr. Devie Rahmawati, M.Hum. menyampaikan rasa syukurnya karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pers Indonesia masih paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain.
"Ini bukti masyarakat menaruh harapan agar pers tetap membawa kebenaran," kata Devie.
Namun Devie mengingatkan adanya kecenderungan masyarakat memusuhi pers sebagaimana terjadi di negara lain agar tidak merembet ke Indonesia.
Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga Dewan Pers Totok Suryanto mengakui tingginya Indeks Kemerdekaan Pers di Indonesia yang mencapai angka 72.
Namun demikian Totok meminta agar jurnalis tetap memiliki wisdom dalam menyampaikan hasil liputannya.
"Wisdom itu artinya harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat banyak," tegas Totok seraya menambahkan bahwa netralitas media adalah perwujudan dari independensi pers.
Ia mengingatkan pers tidak dalam posisi berkuasa tetapi juga tidak dalam posisi oposisi.
"Pers bukan mencari kesalahan semata," tegas Totok.
Menurut Totok menjadi jurnalis adalah profesi yang bertanggung jawab. Jika ada kesalahan harus segera diperbaiki.
Ia meminta aparat agar membiarkan komunitas pers melaksanakan tugasnya dengan aman, karena kalau ada kesalahan maka jurnalis harus bertanggung jawab.*
Polri komitmen jaga kemerdekaan pers dan independensi jurnalis
Kamis, 1 Juni 2023 11:49 WIB