Kulonprogo,DIY (ANTARA) - Deputi Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan BKKBN, M.Rizal Martua Damanik Indonesia saat ini menduduki peringkat ketiga dunia sebagai negara yang paling banyak memproduksi sampah makanan (food loss) setelah Arab Saudi dan Amerika Serikat.
“Kondisi ini sangat ironis, karena di saat yang sama kita sedang mengawal betul masalah stunting. Seandainya sisa-sisa makanan tadi dapat dimanfaatkan, sejatinya angka stunting tidak akan setinggi sekarang,” kata dalam kunjungannya ke Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta, Sabtu.
Kajian Bappenas bersama sejumlah lembaga menunjukkan bahwa Indonesia membuang sampah makanan sekitar 23-48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019 atau setara dengan 115-184 kilogram per kapita per tahun.
Sampah makanan menumpuk, karena bahan makanan yang belum diolah, dibuang ketika proses pemilahan. Misalnya, kembang kol dibawa menggunakan mobil pick up menuju pasar, selama perjalanan kembang kol berpotensi tergencet ataupun terkena noda, dinilai tidak layak dijual atau dikonsumsi.
Ubi atau jagung yang hendak dijual, dibuang begitu saja karena ukuran yang cenderung lebih kecil padahal bisa dijadikan menu.
Damanik menyoroti masyarakat Indonesia yang suka melakukan food waste atau makanan yang sudah siap dikonsumsi, namun dibuang begitu saja, sehingga menumpuk di tempat pembuangan akhir sampah, seperti, sayur kangkung atau ikan gurame goreng yang ditemukan jadi makanan sisa di restoran.
Kedua hal itu berkorelasi erat dengan tingginya angka stunting di Indonesia yang masih 21,6 persen berdasarkan data SSGI 2022. Dimana seharusnya sebagai negara kaya pangan, masyarakat sudah memahami pentingnya mengolah makanan secukupnya dan memberikannya pada anak-anak untuk bisa tumbuh dan berkembang lebih baik.