Jakarta (ANTARA) - Apa yang terpikir ketika berjalan-jalan ke Kota Bogor? Mungkin jawabannya adalah Kebun Raya Bogor. Akan tetapi, Kota Bogor sekarang ini memiliki sejumlah alternatif wisata.
Sebut saja Ekowisata Kreatif Indonesia (Ekotifa), salah satu usaha sosial dan bergerak di bidang wisata yang menginisiasi lahirnya Baik Heritage.
Baik Heritage merupakan program wisata berkelanjutan yang dapat dilakukan dengan bersepeda maupun berjalan kaki di Kota Bogor.
“Program wisata berkelanjutan ini menjelajahi daya tarik sejarah dan kearifan lokal wisata yang ada di Kota Bogor,” ujar salah seorang pendiri Ekotifa Afrodita Indayana.
Program wisata tersebut mendukung peningkatan kesadaran akan situs warisan dengan pariwisata berkelanjutan, membangun kesadaran tentang ramah lingkungan, ekonomi mikro, kegiatan sehat, dan inovasi daya tarik perkotaan.
Bogor atau dalam bahasa Belanda buitenzorg (yang berarti tanpa kegelisahan) memiliki sejarah menarik untuk digali lebih dalam.
Baca juga: Pengunjung wisata Kota Bogor capai 93.465 orang dalam empat hari
Pada masa penjajahan Belanda, selain dijadikan kediaman musim panas Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bogor juga pusat ekonomi, ilmu pengetahuan, dan budaya.
Selain itu, Bogor merupakan kota yang pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sunda kuno dan disebut dalam Pakuan Padjadjaran. Hal itu dibuktikan dengan adanya catatan mengenai Kota Pakuan yang hilang dan baru ditemukan kembali oleh ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Scipio dan Riebeeck pada 1687.
“Mereka melakukan penelitian terhadap Prasasti Batutulis dan beberapa situs lainnya, lalu menyimpulkan bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Pajajaran terletak di Bogor,” terang Afro.
Terdapat sejumlah seri yang dihadirkan dalam wisata itu, yakni The Lost Kingdom (wisata sejarah ke sisa peninggalan Pakuan Padjajaran di Bogor), The Legacy of Buitenzorg History (wisata sejarah ke warisan arsitektur kolonial Belanda di Bogor), The Residence of Museum and Science (wisata sejarah ke warisan pusat penelitian dan museum di Bogor).
Selanjutnya, Bogor Legendary Culinary (wisata ke tempat kuliner legendaris di Bogor), Bogor Urban Legend (wisata kota di malam hari mengunjungi tempat yang diyakini memiliki legenda urban legend di Bogor), dan Bogor Local Genius (tur kota ke tempat komunitas lokal yang memiliki produk unik , kreatif, dan inovatif).
Baca juga: Merintis kampung tematik Abiu Katulampa
Program tersebut berawal dari keprihatinannya terhadap kondisi wisata di Kota Bogor. Afro menilai kota itu memiliki potensi wisata yang baik, tetapi belum digarap optimal yang hasilnya langsung dirasakan oleh masyarakat.
“Semua program wisata itu melibatkan dan menggerakkan ekonomi masyarakat setempat. Misalnya, saat mereka berwisata dengan sepeda, kami ajak untuk menikmati kuliner lokal dan juga dibawa ke tempat UMKM di Bogor. Kami menjelaskan kepada masyarakat bahwa ini bisnis, bukan aksi kolektif,” tutur Afro.
Ke depan, usaha sosial yang dirintis lulusan IPB University tersebut dapat terus berlanjut dan membawa dampak perekonomian masyarakat setempat sehingga masyarakat semakin berdaya dan sejahtera.
Tak hanya berkolaborasi dengan masyarakat, dalam menjalankan usaha sosial itu pihaknya berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, antara lain, Pemkot Bogor, perguruan tinggi, perusahaan swasta, hingga media.
Pakar usaha sosial dari Yale School of Management, Dr. Teresa Chahine, menyatakan bahwa dalam menjalankan usaha sosial yang berkelanjutan perlu kolaborasi dengan semua pihak.
Baca juga: Mengenal lebih dekat Kampung Perca Sindang Rasa Kota Bogor
Chahine mengapresiasi usaha sosial yang tumbuh dan berkembang di Tanah Air. Selain Ekotifa, juga ada Kampung Wisata Labirin yang juga terletak di Kota Bogor.
Chahine menjelaskan bahwa kewirausahaan sosial yang berkelanjutan merupakan paradigma baru dalam berbisnis. Bisnis tidak hanya menciptakan solusi pasar yang layak, tetapi juga bertindak sebagai agen perubahan dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Kewirausahaan sosial dapat diawali dengan mengenali permasalahan sosial yang ada, lalu mengambil tindakan untuk mencoba memecahkan masalah dan merintis usaha sosial. Meski demikian, bukan berarti harus membuka usaha baru.
“Kolaborasi menjadi kata kunci yang tak terelakkan dalam kewirausahaan sosial ini,” ujar Chahine.
Kurikulum
Manajer Inovasi Inkubasi dan Pengembangan Usaha PPM School of Management Nina Ivana Satmak mengingatkan pentingnya memberikan perhatian pada pihak swasta dalam usaha sosial.
“Dengan adanya kewirausahaan sosial, maka tidak zaman lagi program tanggung jawab sosial, yang hanya memberikan dana dan tidak berkelanjutan,” kata Nina.
Selain itu, menurut dia, bagaimana usaha sosial itu membuat inovasi yang bisa dilakukan perusahaan sehingga mereka bisa melakukan perubahan sosial.
Nina menjelaskan kedatangan Teresa Chahine, bertujuan membantu penyusunan kurikulum kampusnya, yang punya program sarjana manajemen bisnis dengan salah satu mata kuliahnya Kewirausahaan Sosial.
“Kami mencoba membangun kurikulum yang baik supaya mahasiswa lebih tajam lagi dalam melihat perubahan sosial, apa yang mau mereka buat,” kata Nina.
Dengan demikian, mahasiswa dapat melakukan inovasi sosial meskipun tidak menjadi pengusaha. Paling tidak dapat memberikan dampak sosial pada masyarakat.
Dalam penyusunan kurikulum, pihaknya akan lebih banyak mengembangkan muatan inovasi sosial. Dengan inovasi sosial tersebut maka dapat mengatasi permasalahan sosial di masyarakat. Kewirausahaan sosial bukan hanya berbicara mengenai bagaimana memulai bisnis baru.
“Akan tetapi, bagaimana usaha sosial dapat berkontribusi. Caranya bisa melalui aktivitas, kewirausahaan, profit, atau kita bisa melakukan ketiganya sekaligus.
"Baik sebagai mahasiswa, sudah berkarir, maupun membuka usaha,” ujar Nina.