Karena tulisannya, RA Kartini, perempuan Jawa yang tidak berpendidikan tinggi menurut ukuran jaman sekarang, telah menjadi terkenal sebagai perintis pergerakan perempuan Indonesia menuju kemajuan melalui pendidikan, bahkan telah mendapat gelar pahlawan nasional.
Kumpulan tulisan Kartini kemudian dirangkum dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) oleh Dr J H Abendanon, suami dari sahabat penanya, orang Belanda, Rosa Abendanon. Buku ini telah mengantarkan puteri Jepara kelahiran 21 April 1879 itu ke dunia luar (mendunia).
Karena itu, saya tergelitik untuk mendorong KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) untuk meluncurkan program Gerakan Perempuan Menulis pada 21 April 2016 untuk memaknai Hari Kartini. Gayung bersambut, Ketua Umum KOWANI Dr Ir Giwo Rubianto Wiyogo langsung setuju dengan usul itu.
Gerakan itu mula-mula saya rintis bersama perkumpulan wanita Nahdlatul Ulama (NU), Muslimat atas permintaan Ibu Mafudoh tahun 2013 untuk pelatihan menulis singkat bagi pengurus Muslimat dengan melibatkan teman-teman LPJA (Lembaga Pendidikan Jurnalistik ANTARA) di gedung PBNU, Jakarta.
Menulis bagi banyak orang adalah alat untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Menulis juga salah satu wahana untuk mengungkapkan gagasan dan isi hati dalam bentuk catatan harian, puisi, esai, opini, cerpen, novel dan karya sastra lain serta buku.
Menulis berfungsi untuk mendokumentasikan peristiwa-peristiwa yang dianggap penting dalam hidup seseorang.
Biasanya, dalam bentuk catatan kecil, catatan harian sampai kemudian menjadi otobiografi. Catatan belanja harian pun dalam suatu kurun waktu tertentu bisa menarik jika dikompilasi menjadi sebuah buku.
Menulis bisa menjadi salah satu alat ampuh untuk melakukan syiar agama, propaganda, kampanye, sosialisasi program dan promosi barang dan jasa. Menulis juga alat untuk berbagai keperluan lainnya, misalnya laporan, hasil rapat, penelitian, dan dokumen hukum.
Setiap orang yang mampu mengungkapkan pikiran dan isi hatinya, pada dasarnya juga akan mampu menulis. Tetapi untuk membuat tulisan menjadi enak dibaca dan mudah dipahami, memang ada teori yang harus dikuasai, baik mengenai struktur tulisan, bentuk tulisan, penguasaan bahasa sampai kiat untuk menembus media massa.
Menulis melalui proses belajar perlu bagi setiap orang, laki-laki maupun perempuan.
Mengapa Perempuan Perlu Menulis?
Perempuan adalah tiang keluarga dan tiang negara. Jika baik perempuannya, maka baik pulalah keluarga dan negara itu. Perempuan sebagai ibu adalah sumber pengetahuan pertama bagi anak-anak yang dilahirkannya.
Ibu adalah tempat belajar bagi anak-anaknya. Ibu adalah sumber sekaligus penyemai kebudayaan, dalam arti nilai-nilai dan peradaban bagi generasi penerus.
Menulis adalah sebuah kegiatan yang memerlukan olah fisik, olah pikir, olah rasa dan olah hati yang melahirkan sesuatu yang bisa memberi tahu, mendidik, menghibur, memberi advokasi, mencerahkan, dan memberdayakan bagi sang penulis sendiri maupun bagi pembacanya. (lihat Prophetic Journalism atau Jurnalisme Kenabian: Mengemban Tugas Kenabian).
Menulis adalah sebuah proses kreatif yang menggairahkan, walaupun bisa juga kadang-kadang melelahkan. Jika seorang ibu kreatif, dapat diharapkan anak-anaknya akan ketularan atau meniru menjadi kreatif pula.
Menulis adalah kegiatan yang menuntut kesabaran, ketekunan dan keuletan, pantang menyerah, dalam mencari, menemukan, mengolah dan melahirkan sesuatu (yang baru).
Kesabaran adalah sifat bawaan perempuan, sehingga karena itu pula menulis sangat cocok untuk perempuan.
Menulis adalah proses menjalani kesabaran yang produktif. Jika perempuan bisa melahirkan karya tulis sebagai hasil dari proses kesabaran yang produktif, dapat diharapkan generasi penerus yang dilahirkan dapat ketularan dan meniru bersifat sabar, kreatif, inovatif, produktif, dan kompetitif sekaligus.
Orang menulis pada umumnya bukan hanya untuk kepuasan diri sendiri sebagai bagian dari aktualisasi diri, melainkan untuk diketahui dan bermanfaat bagi orang banyak. Menulis adalah sebuah kegiatan berbagi (sharing).
Singkat kata, menulis bagi perempuan adalah salah satu cara efektif untuk pembentukan karakter bangsa.
Berpikir, Berbicara dan Menulis
Banyak orang mengatakan menulis itu sulit, karena kemampuan menulis hanya untuk orang-orang tertentu yang dikarunia bakat untuk itu. Hal itu tidak seluruhnya betul, karena menulis bisa dipelajari.
Memang harus diakui, mereka yang berbakat dapat lebih cepat melahirkan karya tulis daripada yang tidak berbakat.
Fakta menunjukkan, menulis dapat dipelajari dan terbukti orang yang semula merasa tidak berbakat untuk menulis, berkat belajar dan berlatih dengan tekun dapat melahirkan karya tulis lebih banyak dan lebih bagus daripada mereka yang diketahui atau merasa berbakat menulis.
Padahal, setiap orang mempunyai kemampuan dasar untuk menulis. Apa buktinya?
Menulis sebenarnya adalah bentuk lain dari berceritera. Pada dasarnya setiap orang, apalagi perempuan, dikaruniai Allah kemampuan untuk bercerita dan bercerita itu pada dasarnya adalah berkata.
Orang berkata karena didorong pikiran untuk menyampaikan sesuatu. Ada hubungan erat antara berkata (speaking), menulis (writing) dan berpikir (thinking).
Ada ungkapan puitis yang sering saya kutip dari Rudolf Flesch, seorang guru menulis sebagai berikut:
Menulis pada akhirnya adalah tiada lain, tapi berbicara di atas kertas. Berbicara tiada lain adalah berpikir yang dibunyikan dengan keras, Dan, berpikir adalah berbicara diam-diam. Atau "Writing after all is nothing but speaking on paper, Speaking is nothing but thinking out loud. And, thinking is nothing but silent speech".
Mengingat itu, orang menulis hendaknya mengikuti proses alami, yakni menulislah seperti kamu berbicara, mengikuti alur pikiran ketika ia muncul dan meluncur seperti gerakan bibirmu.
Kemampuan menulis adalah salah satu dari tiga kemampuan dasar berkomunkasi yang diperlukan siapa saja, apa pun profesinya. Ketiga kemampuan dasar itu adalah berpikir jernih (clear thinking), berbicara ringkas dan bernas (concise speech), dan menulis efektif (forceful/effective writing).
Dengan Gerakan Perempuan Menulis, semoga KOWANI dapat berkontribusi mendidik para Ibu bangsa yang anak-anaknya suka membaca, berpikir, dan menuliskan pikiran mereka.
Tujuan selanjutnya adalah terwujudnya sebuah bangsa berbasis pengetahuan (a knowledge-based nation).
Media sosial (medsos) telah membuka peluang tidak terbatas untuk siapa pun untuk mengapresikan apa saja, termasuk melalui tulisan dan gambar.
Betapa pun, untuk membentuk sebuah bangsa berbasis pengetahuan perlu sejumlah pedoman dalam menulis. Antara lain kecermatan data, akuntabilitas (pertanggungjawaban), dan etika.
Untuk itu, GPM (Gerakan Perempuan Menulis) perlu diawali dengan diklat (pendidikan dan pelatihan) oleh sejumlah orang yang diakui punya kapasias untuk itu. Pengetahuan fotografi juga penting, sebab sekarang di era medsos, informasi akan lebih menarik jika ada fotonya. Apalagi, ada ungkapan: "One picture speaks more than one thousand words" (Satu foto berbicara lebih daripada seribu kata).
Sebuah bangsa yang warganya rajin membaca berbagai pengetahuan, mendiskusikan, menulis hasil diskusi, dan membagikannya kepada sesama akan membuat negara itu maju dan rakyatnya makmur-sejahtera. Ke arah itu, GPM ditujukan.
Di sini dapat diukur peranan dan kontribusi KOWANI, induk organisasi perempuan terbesar Indonesia, sebagai penerus cita-cita Kartini.
*) Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.
Kartini, Kowani Dan Gerakan Perempuan Menulis
Selasa, 26 April 2016 13:57 WIB
Ibu adalah tempat belajar bagi anak-anaknya. Ibu adalah sumber sekaligus penyemai kebudayaan, dalam arti nilai-nilai dan peradaban bagi generasi penerus.