Perubahan fungsi hutan berdampak pada makanan gajah makin terbatas
Kamis, 7 Juli 2022 14:52 WIB
Kabupaten Bogor (ANTARA) - Pegiat konservasi satwa liar menilai banyaknya hutan berubah fungsi menjadi perkebunan dan permukiman berdampak pada kawasan habitat bagi satwa gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) menjelajah hingga perkebunan untuk mencari makan yang semakin terbatas.
"Gajah sampai harus memasuki perkebunan masyarakat untuk mendapatkan makanan," kata Koordinator Umum Forum Konservasi Satwa Liar Indonesia (FOKSI) Tony Sumampau kepada ANTARA di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Diwawancarai terkait dengan masih sering terjadinya kawanan gajah liar yang merusak perkebunan dan rumah warga, ia melihat kondisi perubahan fungsi hutan dimaksud adalah salah satu faktor yang membuat satwa endemik itu kesulitan mendapatkan pakan di habitat alamnya.
"Jika ada kondisi seperti itu, dengan demikian konflik antara gajah dengan manusia tidak dapat dihindari," katanya.
Pada awal Juli 2022, kawanan gajah liar dilaporkan merusak rumah dan perkebunan warga di Desa Seumanah Jaya, Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur.
Tony Sumampau, yang juga Sekjen Persatuan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI) itu mengemukakan bahwa kelompok gajah sumatera umumnya terdiri atas 8-15 ekor gajah.
Satwa gajah dipimpin oleh gajah betina yang tua, beberapa ekor jantan sisanya gajah betina dan anak-anak gajah sampai remaja.
Gajah remaja jantan yang menjelang dewasa akan diusir dari kelompoknya untuk menghindari perkawinan sesama keluarga di satu kelompok.
"Apabila kelompok gajah memasuki kawasan perkebunan pisang, jagung, padi dan sawit masyarakat, dalam semalam saja mereka dapat meratakan 10 hingga 20 hektare kebun masyarakat, sehingga kita dapat membayangkan betapa besar kerugian yang akan diderita masyarakat," katanya.
Meskipun demikian, menurut dia, lahan yang digunakan oleh masyarakat untuk berkebun pada dasarnya adalah hutan, yang memang menjadi habitat gajah sebelumnya di mana mereka mendapatkan pakan berupa rumput, semak belukar dan dedaunan dari pohon pohon yang berada di hutan tersebut.
Dengan demikian perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan akan mengurangi ruang jelajah untuk gajah mendapatkan pakan.
Sehingga konflik antara masyarakat dan gajah atau dengan satwa liar lainnya tidak dapat dihindari.
Gajah Sumatera merupakan satwa yang sangat cerdas, mereka juga memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat kuat.
"Sejauh habitat mereka tidak terganggu, kawanan kelompok gajah akan menjelajah dari satu daerah ke daerah lain secara rutin untuk mendapatkan pakan," katanya.
Untuk itu, dibutuhkan sinergi antara semua pemangku kepentingan terkait, baik pemerintah dan masyarakat dan lainnya guna mencari solusi untuk penanganan yang komprehensif, demikian Tony Sumampau.
Baca juga: Rumah petani ambruk diamuk kawanan gajah di Aceh
Baca juga: Gajah Sumatera ditemukan mati di kawasan hutan Aceh Tenggara
Baca juga: Bupati Bogor berikan nama Bonesia untuk bayi gajah di Taman Safari Indonesia
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Konservasionis: Fungsi hutan berubah, berdampak pakan gajah terbatas
"Gajah sampai harus memasuki perkebunan masyarakat untuk mendapatkan makanan," kata Koordinator Umum Forum Konservasi Satwa Liar Indonesia (FOKSI) Tony Sumampau kepada ANTARA di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Diwawancarai terkait dengan masih sering terjadinya kawanan gajah liar yang merusak perkebunan dan rumah warga, ia melihat kondisi perubahan fungsi hutan dimaksud adalah salah satu faktor yang membuat satwa endemik itu kesulitan mendapatkan pakan di habitat alamnya.
"Jika ada kondisi seperti itu, dengan demikian konflik antara gajah dengan manusia tidak dapat dihindari," katanya.
Pada awal Juli 2022, kawanan gajah liar dilaporkan merusak rumah dan perkebunan warga di Desa Seumanah Jaya, Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur.
Tony Sumampau, yang juga Sekjen Persatuan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI) itu mengemukakan bahwa kelompok gajah sumatera umumnya terdiri atas 8-15 ekor gajah.
Satwa gajah dipimpin oleh gajah betina yang tua, beberapa ekor jantan sisanya gajah betina dan anak-anak gajah sampai remaja.
Gajah remaja jantan yang menjelang dewasa akan diusir dari kelompoknya untuk menghindari perkawinan sesama keluarga di satu kelompok.
"Apabila kelompok gajah memasuki kawasan perkebunan pisang, jagung, padi dan sawit masyarakat, dalam semalam saja mereka dapat meratakan 10 hingga 20 hektare kebun masyarakat, sehingga kita dapat membayangkan betapa besar kerugian yang akan diderita masyarakat," katanya.
Meskipun demikian, menurut dia, lahan yang digunakan oleh masyarakat untuk berkebun pada dasarnya adalah hutan, yang memang menjadi habitat gajah sebelumnya di mana mereka mendapatkan pakan berupa rumput, semak belukar dan dedaunan dari pohon pohon yang berada di hutan tersebut.
Dengan demikian perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan akan mengurangi ruang jelajah untuk gajah mendapatkan pakan.
Sehingga konflik antara masyarakat dan gajah atau dengan satwa liar lainnya tidak dapat dihindari.
Gajah Sumatera merupakan satwa yang sangat cerdas, mereka juga memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat kuat.
"Sejauh habitat mereka tidak terganggu, kawanan kelompok gajah akan menjelajah dari satu daerah ke daerah lain secara rutin untuk mendapatkan pakan," katanya.
Untuk itu, dibutuhkan sinergi antara semua pemangku kepentingan terkait, baik pemerintah dan masyarakat dan lainnya guna mencari solusi untuk penanganan yang komprehensif, demikian Tony Sumampau.
Baca juga: Rumah petani ambruk diamuk kawanan gajah di Aceh
Baca juga: Gajah Sumatera ditemukan mati di kawasan hutan Aceh Tenggara
Baca juga: Bupati Bogor berikan nama Bonesia untuk bayi gajah di Taman Safari Indonesia
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Konservasionis: Fungsi hutan berubah, berdampak pakan gajah terbatas