Jakarta (ANTARA) - Sumber daya perikanan di Indonesia, menurut Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri, baik di lautan maupun di budi daya sangat besar.
Ia menyebut secara potensi, perikanan Indonesia adalah yang terbesar di dunia, yang bersumber baik dari perikanan tangkap maupun perikanan budi daya.
Dari dua sumber itu, kata dia, potensi produksi lestarinya sekitar 67 juta ton/tahun.
Potensi produksi lestari (maximum sustainable yield/MSY) perikanan tangkap laut sebesar 9,3 juta ton/tahun dan perikanan tangkap di peraian darat, seperti danau, sungai, waduk dan rawa, sekitar 0,9 juta ton/tahun, atau total perikanan tangkap 10,2 juta ton/tahun.
Sedangkan 56,8 juta ton/tahun adalah potensi perikanan budi daya, baik budi daya laut (mariculture), budi daya perairan payau (tambak), maupun budi daya perairan tawar (darat).
Meskipun sumber daya ikan Indonesia itu sangat besar, jika tidak dikelola secara berkelanjutan, yakni dengan prinsip memerhatikan lingkungan, maka bisa menjadi ancaman.
Banyak studi dan penelitian yang menyebutkan tingginya kebutuhan pasar eskpor mendorong kegiatan eksploitasi yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan, sehingga berdampak pada terjadinya peningkatan penangkapan di alam.
Akibatnya, hal itu dapat memicu terjadinya kegiatan overfishing (hasil tangkapan berlebihan).
Untuk itu, maka perlu diupayakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.
Terukur
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono di banyak kesempatan selalu menyampaikan mengenai kebijakan penangkapan ikan terukur.
Kebijakan itu, yakni pengendalian yang dilakukan dengan menerapkan sistem kuota (catch limit) kepada setiap pelaku usaha. Dengan demikian, maka tidak hanya sumber daya ikan yang lestari, namun hal itu akan memiliki efek ganda bagi pembangunan nasional, selain sebagai penopang ketahanan pangan.
Direktur Program organisasi internasional nirlaba Marine Stewardship Council (MSC) Indonesia Hirmen Syofyanto menyatakan dibutuhkan kerja kolektif yang memerlukan dukungan semua pemangku kepentingan terkait dalam perjalanannya menuju standar keberlanjutan itu.
Karena itu, bersama KKP dan unsur pentaheliks, di pengujung Tahun 2021, pihaknya mengadakan pertemuan koordinasi Program Perbaikan Perikanan (Fisheries Improvement Program/FIP) skala nasional.
Unsur pentaheliks itu adalah perwakilan akademisi, industri, pemerintahan dan komunitas, di antaranya Komite Pengelolaan Perikanan Kakap Kerapu Berkelanjutan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Yayasan Konservasi Alam, WWF Indonesia, FPIK IPB University,Sustainable Fisheries Program (SFP), industri perikanan, yaitu PT Sekar Laut Tbk, PT Cassanatama Naturindo dan PT Sahabat Laut Lestari.
FIP adalah upaya yang mendukung percepatan pengelolaan perikanan tangkap menuju pemenuhan standar berkelanjutan dan harmonisasi proyek FIP di seluruh Indonesia sesuai dengan ketentuan serta program strategis dari KKP.
Dalam kaitan itu, menurut Hirmen Sofyanto, MSC terus mengampanyekan dan mengadvokasi agar perikanan di Indonesia bisa menuju standar keberlanjutan global dengan skema sertifikasi ekolabel.
MSC sendiri adalah organisasi nirlaba internasional yang menetapkan standar berbasis sains dan diakui secara global terhadap penangkapan ikan serta keterlacakan makanan laut yang berkelanjutan.
Awal Januari 2021 produk perikanan tuna sirip kuning (yellowfin tuna) dan cakalang (skipjack tuna) Indonesia berhasil memenuhi sertifikasi standar global perikanan berkelanjutan oleh MSC.
Kolaborasi pemerintah Indonesia dengan MSC ini menjadikan 11.000 ton tuna sirip kuning dan cakalang memiliki sertifikasi untuk pasar Amerika dan Eropa.
Capaian itu merupakan ketiga kalinya diraih Indonesia berkat upaya KKP dan Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia (AP2HI) yang didukung International Pole and Line Foundation (IPNLF), yang telah bekerja keras untuk memastikan perikanan tuna di Indonesia dikelola secara berkelanjutan.
Sebelumnya, pada Mei 2020, North Buru and Maluku Fair Trade Fishing Associations, Indonesian Handline Yellowfin Tuna disertifikasi dengan standar MSC, menyusul PT Citra Raja Ampat Canning (CRAC) yang meraih sertifikasi pada November 2018.
Dipertahankan
Atas capaian-capaian itu, Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono menegaskan agar sertifikat MSC itu harus dipertahankan terus.
Perlunya dipertahankan itu karena menyebutkan sertifikasi tersebut menentukan penangkapan ikan untuk tetap berada pada tingkat praktik terbaik global dengan pengelolaan stok yang baik.
Apalagi, perolehan itu menjadi komitmen yang harus tetap dijaga selama waktu lima tahun untuk mempertahankan sertifikatnya, terkait dengan stok dan manajemen.
Karenanya, nelayan dan pelaku usaha perikanan di Indonesia diminta mendukung penuh program pengelolaan perikanan berkelanjutan, dengan mempertahankan sertifikat MSC yang menjadi standar global untuk memastikan kualitas dan penelusuran produk perikanan dikelola dengan lestari.
Guna menindaklanjuti upaya kolektif tersebut, MSC menyarankan beberapa hal, yakni peningkatan kapasitas pemangku kepentingan pada tingkat daerah serta dikuatkannya kelembagaan forum-forum komunikasi lintas pemangku kepentingan.
Hirman Sofyanto mengharapkan kerja sama dengan pemerintah dan berbagai pihak dapat terus terjalin untuk mewujudkan penangkapan ikan terukur, yang disampaikan Menteri KKP dimaksud.
Pada akhirnya, dengan kelimpahan sumber daya perikanan Indonesia yang berlimpah, yang diikuti dengan pengelolaan yang memakai parameter pemaduan lingkungan hidup dan pemanfaatannya serta sudah tercapainya tiga sertifikat ekolabel global, itu membuktikan kinerja kolektif berjalan baik.
Kerja kolektif demi standar keberlanjutan perikanan lestari
Minggu, 2 Januari 2022 19:34 WIB
Meskipun sumber daya ikan Indonesia itu sangat besar, jika tidak dikelola secara berkelanjutan, yakni dengan prinsip memerhatikan lingkungan, maka bisa menjadi ancaman.