Jakarta (ANTARA) - Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila Prof Eddy Pratomo menegaskan mendukung langkah Pemerintah Indonesia untuk tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel dan tetap memberikan dukungan sepenuhnya terhadap terciptanya kemerdekaan Palestina.
"Khusus isu pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel yang dikaitkan dengan iming-iming uang atau dana bantuan asing, dapat ditegaskan bahwa hal tersebut bukanlah merupakan tradisi atau kebijakan pelaksanaan politik luar negeri RI," kata Prof Eddy Pratomo dalam keterangan tertulisnya yang diterima ANTARA, Jumat.
Baca juga: Tantangan makin berat, Indonesia tetap setia dukung Palestina
Baca juga: Indonesia memprakarsai pertemuan DK PBB bahas soal Palestina-Israel
Prof Eddy yang juga Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro (Undip) tersebut juga mengatakan pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan suatu negara, tentu didasarkan pada pertimbangan matang dari berbagai aspek kepentingan nasional.
Dia menjelaskan pembukaan hubungan diplomatik lebih diabdikan kepada kepentingan mendasar Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
"Sebagai bangsa, kita jangan lupa bahwa Presiden Sukarno pernah mengeluarkan Jargon yang terkenal ketika itu, dengan 'go to hell with your aid', yang menggambarkan bahwa politik luar negeri RI bukan untuk 'diperjualbelikan', tapi untuk diabdikan bagi kepentingan nasional," katanya.
Baca juga: Indonesia kecam Israel sebagai penghambat perdamaian di Timur Tengah
Oleh sebab itu, Prof Eddy mendukung langkah Pemerintah Indonesia untuk tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel dan tetap memberikan dukungan sepenuhnya terhadap terciptanya kemerdekaan Palestina.
"Solusi terhadap hal tersebut adalah penyelesaian melalui opsi dua negara," ujar Prof. Eddy.
Akademisi dukung langkah Indonesia tak buka hubungan diplomatik dengan Israel
Jumat, 25 Desember 2020 11:12 WIB
Khusus isu pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel yang dikaitkan dengan iming-iming uang atau dana bantuan asing, dapat ditegaskan bahwa hal tersebut bukanlah merupakan tradisi atau kebijakan pelaksanaan politik luar negeri RI.