Jakarta (ANTARA) - Masih ingat di tahun 2018, Gema Pembebasan underbow organnisasi Eks HTI mengeluarkan dukungan saat Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa, mengeluarkan kartu kuning kepada Presiden Joko Widodo pada saat acara Dies Natalis Universitas Indonsia? Saat itu, Ketum Gema Pembebasan, Ricky Fattamazaya menyatakan bahwa Pemerintahan Joko Widodo adalah pendukung dari pemerintahan kufur, yang menimbulkan banyaknya masalah sosial di masyarakat, serta kriminalisasi ulama akibat rezim yang terus menerus memusuhi Islam.
Di kala itu, masyarakat terbagi dua. Mereka yang kontra dengan Pemerintah membela tindakan tersebut dengan alasan kemanusiaan. Namun ada beberapa di antara mereka yang berada di kelompok kontra tersebut memanfaatkan situasi untuk menawarkan ideologi khilafah sebagai satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di Indonesia. Terlihat begitu mudahnya isu politik dikelola untuk kepentingan ideologis kelompok tertentu, dengan cara fitnah ataupun tuduhan yang tendensius.
Dua tahun beralu, organisasi Eks HTI kembali mengubah bentuknya menjadi organisasi lainnya yang belum terdeteksi Pemerintah sebagai asosiasi langsung dari HTI, salah satunya adalah dengan menginfiltrasi Badan Koordinasi Lembaga Kampus (BKLDK) Nasional. Mereka kembali melakukan propaganda di media sosial, yang terbaru adalah dikeluarkannya pernyataan sikap BKLDK Nasional yang mengutuk kriminalisasi Dakwah Islam dan tuntutan pembebasan Ali Baharsyah. Pernyataan sikap tersebut ditandatangani Mashun Sofyan (Ketua BE BKLDK Nasional) di Bandung pada 14 April 2019, dan disebarluakan pada 17 April 2020 di berbagai platform media sosial maupun media kampusyang bisa mereka jangkau.
Meskipun terlihat normatif, namun apabila dipelajari secara seksama, pernyataan sikap yang dipaparkan mengarahkan tuntutan kepada penanaman ideology khilafah dan pernyataan eksistensinya harus diperjuangkan di dalam pemerintahan dan politik. Terlepas dari upaya kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di media sosial, kita harus menyadari bahwa penanaman paham radikal bukanlah salah satu hal yang arus diperjuangkan di dalam kebebasan berpendapat. Kita sudah melihat buruknya akibat dari radikalisme di berbagai Negara timur tengah, dan tentu kita tiak menginginkan hal serupa terjadi pada kita sebagai sebuah Negara bangsa.
Namun apabila kita perhatikan, apa yang dilakukan Pemerintah dalam menekan penyebaran paham radikalisme, terutama yang berkaitan dengan eks HTI seta underbow-nya, belumlah sepenuhnya didukung oleh seluruh elemen masyarakat. Padahal, urgensi di dalamnya bersifat sangat strategis, apalagi melihat masih intensnya propaganda kelompok-kelompok tersebut di media, dan daya jangkaunya cukuplah efektif. There is no turning back. Sesaat setelah Negara dikusasi oleh paham ini, kehidupan kebebasan yang berifat demokratis belum tentu bisa kita upayakan untuk kembali tanpa korban jiwa.
Oleh karenanya, kesadaran dini untuk memulai kontra narasi terhadap maraknya propaganda radikalisme sejenis eks-HTI ini harus dibangkitkan, bukan hanya di kalangan pihak berewenang, namun juga di kalangan masyarakat. Kontra narasi secara holistik akan jauh lebih efektif dalam menekan indoktrinasi radikalisme dalam pemahaman sosial masyarakat umum. (64/*).
*) Penulis adalah, Mahasiswa Pasca Sarjana di Bogor.
Urgensi Kontra Narasi Atas Maraknya Propaganda Eks HTI Dan Gema Pembebasan Di Medsos
Kamis, 30 April 2020 15:52 WIB
Sesaat setelah Negara dikusasi oleh paham ini, kehidupan kebebasan yang berifat demokratis belum tentu bisa kita upayakan untuk kembali tanpa korban jiwa.