Pohon-pohon di areal pemakaman Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, terlihat rimbun. Ratusan nisan makam yang berjajar di areal pemakaman "Sampurna Raga" itu pun nampak teduh, walaupun pada siang hari.
Tetapi di balik rimbunnya pepohonan dan teduhnya suasana di areal itu, terdapat cerita memilukan yang dikenal dengan Peristiwa Rawagede. Aksi pembantaian tentara Belanda pada 64 tahun silam sedikit tergambarkan dalam Monumen Rawagede yang lokasinya berdekatan dengan ratusan makam berwarna putih tersebut.
Di dalam monumen yang diresmikan pada 12 Juli 1996 itu terdapat diorama peristiwa pembantaian oleh tentara Belanda terhadap warga Kampung Rawagede. Kekejaman tentara Belanda pada masa agresi militer itu terlihat dari diorama tiga tentara yang sedang menembaki lima laki-laki. Ada pula sebuah patung ibu sedang memeluk dua anaknya.
" ... Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5
ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan
harapan
Atau tidak untuk apa-apa..."
Demikian kutipan puisi berjudul "Karawang Bekasi" yang ditulis penyair kondang, Chairil Anwar, dalam mengungkapkan kepedihan yang dirasakan para korban agresi militer Belanda di Rawagede, sebuah kampung yang saat itu merupakan daerah markas para laskar pejuang.
Puisi tersebut kemudian selalu dibacakan setiap kali Yayasan Rawagede, lembaga yang aktif memberikan advokasi terhadap keluarga korban peristiwa Rawagede, menggelar peringatan peristiwa Rawagede, setiap 9 Desember.
Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman, mengatakan, saat itu tentara Belanda di bawah pimpinan seorang Mayor masuk ke Rawagede untuk satu tujuan, yakni mencari dan menangkap Kapten Lukas Kustaryo, Komandan Kompi Divisi Siliwangi yang kerap membuat repot Belanda. Tetapi karena yang dicarinya tidak ada, tentara Belanda itu akhirnya membantai warga Rawagede.
Menurut dia, sesuai dengan cerita yang disampaikan seorang saksi Peristiwa Rawagede, Saih bin Sakam, yang meninggal dunia pada 7 Mei 2011 dalam usia 88 tahun, saat itu tentara Belanda sangat kejam. Tidak ada yang diberi ampun, dan saat itu tentara Belanda menembaki warga kampung berkali-kali.
Saat itu, hujan turun selepas Magrib. Sungai Rawagede yang berada di selatan desa meluap. Warga desa yang hampir seluruhnya petani turun ke sawah untuk memeriksa tanaman padinya masing-masing. Tetapi tiba-tiba terdengar suara ledakan keras.
Suara itu ternyata suara senjata tentara Belanda yang telah mengepung desa. Mereka melokalisasi Rawagede karena menduga desa ini digunakan sebagai tempat persembunyian gerilyawan Tentara Keamanan Rakyat.
Rawagede yang sejak dulu menjadi lumbung padi di Karawang saat itu memang dijadikan markas gabungan para pejuang kemerdekaan. Laskar-laskar seperti Barisan Banteng, Macan Citarum, dan Laskar Hizbullah.
Dalam operasinya di Rawagede, tentara Belanda menggeledah setiap rumah warga desa. Tidak ditemukan orang yang dicarinya, dan tidak ada pula sepucuk senjata pun yang ditemukan dalam penggeledahan itu.
Mereka kemudian memaksa warga ke luar rumah dan mengumpulkannya di sebuah lapangan. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjajar, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Tetapi tidak satu pun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Perwira tentara Belanda lalu memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru berusia 11 dan 12 tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan.
Sukarman memperkirakan, korban pembantaian tentara Belanda itu mencapai lebih dari 431, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir akibat hujan deras. Hujan juga mengakibatkan genangan darah membasahi tanah desa.
Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya.
Pimpinan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Batara Hutagalung, menilai, pembantaian 431 penduduk Rawagede tanpa ada pengadilan, tuntutan atau pembelaan merupakan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties) yang merupakan bagian dari tindakan kejahatan perang.
Karena itu, para janda dan ahli waris korban peristiwa Rawagede bersama Yayasan Rawagede dan KUKB menggugat pemerintah Belanda atas tindakan tersebut.
Pada Desember 2005 KUKB mengajukan tuntutan kepada parlemen Belanda dan proses persidangannya baru berlangsung sejak 2008, menggugat Pemerintah Belanda untuk mengakui Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, menuntut Pemerintah Belanda meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas pelanggaran HAM berat dan kejahatan kemanusiaan selama agresi militer. Selain itu, juga menuntut kompensasi kepada janda yang suaminya menjadi korban pembantaian Rawagede.
Ia menjelaskan, sejarah mencatat kalau pada 9 Desember 1947 tentara Belanda melakukan pembantaian terhadap 431 penduduk Rawagede. Pembantaian itu merupakan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan. Karena hal itu jelas melanggar konvensi Jenewa, yaitu dilarang membunuh penduduk sipil (non combatant).
Tuntutan para janda yang suaminya menjadi korban peristiwa Rawagede disampaikan karena saat itu para korban pembantaian Rawagede yang masih hidup tidak pernah menuntut Pemerintah Belanda atas kejahatan perang yang dilakukan pada 9 Desember 1947, di Rawagede, Karawang.
Para korban pembantaian Rawagede yang masih hidup pada tahun itu sama sekali tidak pernah menerima bantuan atau kompensasi apapun dari Pemerintah Belanda.
"Saat itu mereka (para korban pembantaian Rawagede yang saat itu masih hidup) setuju agar KUKB menyampaikan tuntutan mereka ke Pemerintah Belanda," kata Batara.
Berharap Kompensasi Dari Belanda
Para janda yang suaminya menjadi korban pembantaian tentara Belanda pada 9 Desember 1947, di Rawagede, akan menerima kompensasi setelah Pengadilan Sipil Belanda di Den Haag memenangkan gugatan para janda tersebut.
Pimpinan KUKB Batara Hutagalung, mengatakan, walaupun gugatan para janda korban peristiwa rawagede itu sudah dimenangkan Pengadilan Sipil Belanda, hingga kini pembayaran kompensasi tersebut belum jelas karena belum sampai disebutkan angka kompensasinya.
Sesuai dengan putusan hakim Pengadilan Sipil Belanda pada Rabu (14/9) malam, telah diputuskan kalau Pemerintah Belanda telah melakukan kejahatan perang di Rawagede.`Karena itu, para janda korban peristiwa Rawagede tersebut akan mendapat kompensasi dari pemerintah Belanda.
Tetapi, aturan mengenai pembayaran kompensasi kepada para janda yang suaminya menjadi korban pembantaian Rawagede didasarkan kepada undang-undang yang berlaku di Belanda.
Ia berharap kompensasi yang dimaksudkan itu bukan hitung-hitungan ganti rugi per kepala. Tetapi yang perlu diperhitungkan ialah, daerah tempat pembantaian tersebut merupakan daerah petani.
Dengan adanya pembantaian tentara Belanda yang korbannya itu umumnya laki-laki yang bematapencaharian petani, telah mengakibatkan roda ekonomi di daerah tersebut terganggu. Sehingga, roda ekonomi di daerah itu mengalami kemunduran 10-20 tahun ke belakang akibat ratusan laki-laki di daerah itu menjadi korban pembantaian.
Sejumlah janda yang suaminya menjadi korban peristiwa Rawagede berharap mendapat kompensasi yang sepadan dengan kerugian yang dialami selama puluhan tahun, menyusul menangnya gugatan di Pengadilan Sipil di Belanda.
"Ya senang atas putusan Pengadilan Sipil Belanda di Den Haag yang memenangkan gugatan. Apalagi akan mendapat kompensasi," kata Ny Cawi (84), janda yang suaminya menjadi korban peristiwa Rawagede.
Ia berharap kompensasi yang akan diperoleh dari Pemerintah Belanda itu sepadan dengan kerugian yang dialami selama puluhan tahun.
Batara menilai, menangnya gugatan para janda korban peristiwa Rawagede di Pengadilan Sipil Den Haag, Belanda, akan menjadi "ujung tombak" penyelesaian permasalahan kejahatan perang tentara Belanda yang terjadi selama masa agresi militer Belanda antara 1945-1949. Sebab, cukup banyak kejahatan perang yang dilakukan tentara Belanda selama 1945-1949.
Dengan dimenangkannya gugatan para janda korban peristiwa Rawagede dalam persidangan di Belanda, maka hal tersebut akan membuka pintu penyelesaian atau pengungkapan kasus-kasus pelanggaran lainnya yang dilakukan tentara Belanda pada agresi militer Belanda.
"Proses gugatan yang terjadi dalam peristiwa Rawagede itu akan menjadi pelajaran dalam menyelesaikan kasus lainnya, seperti tragedi pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan pada 1946-1947," kata dia. Pada 1946-1947, ribuan warga di daerah di Sulawesi Selatan menjadi korban pembantaian tentara Belanda di bawah pimpinan Raymond Paul Pierre Westerling.