Jakarta (ANTARA) - Program makan bergizi gratis (MBG) perlu dirancang lebih inklusif agar anak-anak berkebutuhan khusus pun bisa mendapatkan hak gizi yang aman dan setara.
Sebab di tengah perhatian publik yang kerap berfokus pada pendidikan dan akses layanan kesehatan, kebutuhan akan makanan sehat dan aman bagi kelompok ini sering kali terpinggirkan.
Padahal, bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus, asupan makanan yang tepat bukan sekadar soal kenyang, melainkan bagian penting dari tumbuh kembang dan kesehatan jangka panjang mereka.
Kesadaran inilah yang melatarbelakangi lahirnya kolaborasi antara Yayasan Inklusi Pelita Bangsa (YIPB) dalam melakukan inspeksi berkala guna menjamin standar keamanan program MBG sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di Banten.
Program ini dijalankan sebagai bagian dari kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dan telah berjalan sejak April 2025. Pendekatannya cukup berbeda dari banyak program serupa karena menempatkan pengawasan, keamanan pangan, dan transparansi digital sebagai pilar utama dalam penyelenggaraan.
Saat ini, program tersebut menjangkau 18 sekolah khusus, baik negeri maupun swasta, di lima wilayah Banten, yaitu Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Serang, dan Kota Cilegon.
Sebanyak 12 pelaku usaha kecil menengah di daerah tersebut terlibat dalam penyediaan makanan untuk lebih dari dua ribu siswa dan guru. Mereka bukan hanya menerima pesanan, tetapi juga dibimbing dan diawasi agar memenuhi standar kebersihan, gizi, dan keamanan pangan yang ketat.
Program itu berjalan bersama mitra pemerintah daerah secara rutin yang melakukan inspeksi lapangan untuk memastikan seluruh proses berjalan sesuai prosedur.
Inspeksi dilakukan di dapur mitra usaha, termasuk di Omah Kulina yang menjadi salah satu penyedia makanan, serta di sejumlah sekolah penerima manfaat seperti Sekolah Khusus Assalam 01 dan 02.
Selain itu, kegiatan juga dilanjutkan ke pusat pemantauan program berbasis teknologi yang berfungsi untuk mengawasi proses distribusi secara real-time.Pendekatan seperti ini menunjukkan bahwa program sosial dapat berjalan selaras dengan peningkatan kapasitas ekonomi lokal, sebab para pelaku UMKM yang terlibat turut memperoleh peningkatan kompetensi dalam praktik bisnis yang lebih sehat dan profesional.
Ketua Pembina YIPB, Maya Miranda Ambarsari, melihat bahwa pengalaman ini dapat menjadi salah satu model pembelajaran untuk memperkuat kebijakan inklusif di bidang gizi.
Menurutnya, peran swasta dalam penyelenggaraan kegiatan sosial bisa diarahkan untuk melengkapi kerja pemerintah, bukan menggantikannya.
Kecerdasan Buatan
Pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan dalam sistem pemantauan menjadi hal yang menarik untuk dicermati. Sistem ini memungkinkan pengawasan real-time terhadap suhu makanan, waktu distribusi, hingga kondisi sanitasi penyedia.
Jika ditemukan ketidaksesuaian, sistem dapat memberikan peringatan dini agar segera dilakukan perbaikan.
Dengan cara ini, pengawasan tidak lagi bergantung sepenuhnya pada tenaga manusia di lapangan, tetapi juga memanfaatkan data untuk pengambilan keputusan yang lebih cepat dan akurat.
Pendekatan seperti ini memperlihatkan bahwa digitalisasi dapat memperkuat efektivitas program sosial jika digunakan dengan tepat.
Bukan untuk menggantikan empati manusia, tetapi untuk memastikan empati itu diwujudkan melalui mekanisme yang terukur, aman, dan berkelanjutan.
Dalam konteks anak-anak berkebutuhan khusus, keandalan sistem distribusi makanan menjadi bentuk perlindungan yang sangat nyata. Ia bukan sekadar kebijakan, tetapi jaminan rasa aman bagi anak-anak, guru, dan orang tua.
*) Penulis adalah Ketua Pelaksana Harian Yayasan Inklusi Pelita Bangsa (YIPB).
