Bondowoso (ANTARA) - Sebagian besar orang tua mungkin tidak menyadari bahwa anak-anak remajanya tengah bergulat dengan rasa kesepian.
Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga atau Kemendukbangga mencatat ada 68 juta anak Indonesia berumur 10 hingga 24 tahun. Dari jumlah itu, hampir 34 persen di antaranya kesepian karena hidupnya asyik dengan teknologi.
Secara rinci , satu dari empat remaja pernah mengalami stres yang mengganggu kesehatan mental mereka karena kurang berinteraksi satu sama lain akibat penggunaan gawai yang terlalu mendominasi.
Fakta mengenai 34 persen remaja kesepian karena terlalu sering mengakses gawai itu bisa menyentakkan kesadaran kita bahwa mereka memerlukan perhatian. Jika keadaan ini tidak ditangani akan berdampak pada kejiwaan secara menyeluruh. Anak remaja itu bisa mengalami depresiasi dan berpengaruh proses belajarnya. Masa depan generasi penerus ini akan terganggu.
Fakta ini memberi peringatan kepada para orang tua dan seluruh pemangku kepentingan untuk segera memberikan perhatian secara mendalam terhadap kejiwaan anak.
Memberi perhatian pada anak remajanya itu berarti juga mengambil jarak sejenak dengan kesibukan keseharian orang tua, baik terkait pekerjaan, maupun terkait dengan kebiasaan yang "sok sibuk" dengan perangkat gawai.
Mengambil jeda terhadap kebiasaan-kebiasaan itu berarti mengalihkan perhatian yang lebih intensif terhadap jiwa si anak yang selama ini mungkin terabaikan.
Para orang tua tidak bisa berpegang pada egonya bahwa selama ini, di tengah kesibukannya, mereka sudah memberi perhatian kepada anak remajanya.
Perasaan bahwa orang tua sudah memberikan perhatian terhadap anaknya yang tengah memasuki tahap perkembangan jiwa dewasa awal itu, belum tentu sama dengan yang dirasakan oleh si anak remaja. Secara psikologis, ada guncangan-guncangan khusus terkait perubahan hormonal pada diri setiap anak remaja yang berproses menuju dewasa. Kondisi itu hanya bisa disikapi dengan pemenuhan cinta tanpa syarat dari orang tua.
Menyikapi pernyataan Mendugbangga mengenai remaja yang kesepian ini, ada dua kemungkinan yang ditangkap oleh orang tua, yakni percaya dan ada yang ragu. Bagi yang ragu akan berkutat pada pertanyaan, "Apa betul demikian?"
Bagi yang percaya, tentu lebih mudah untuk menentukan langkah segera, dengan lebih memberi perhatian kepada anak remajanya.
Sementara bagi orang tua yang ragu, ada baiknya untuk berpikir pada kemungkinan lain di luar rasa ragunya itu. Boleh jadi keraguannya itu tidak memiliki pijakan kebenaran. Orang tua jenis ini perlu meragukan keraguannya sendiri untuk menyelamatkan jiwa anak remajanya yang berada dalam kondisi darurat perhatian.
Sejatinya, ada atau tidak ada peringatan dari Mendugbangga itu, orang tua yang selalu memberi perhatian pada jiwa anak tidak ada ruginya. Bagaimanapun kondisinya, perhatian terhadap anak, khususnya remaja, tetap bernilai positif bagi pertumbuhan jiwanya.
Sesekali, bahkan harus sering, orang tua perlu mengajak anak remajanya untuk berbicara lepas mengenai hal-hal yang mungkin terkesan remeh, misalnya mengenai teman si anak, gurunya, atau tentang pengalamannya di jalan ketika berangkat dan pulang sekolah.
Pembukaan ruang interaksi yang nyaman ini efektif untuk membuka pikiran dan perasaan anak, bahwa orang tuanya terbukti merupakan sosok yang nyaman untuk diajak berkomunikasi.
Perkembangan teknologi informasi yang ditandai dengan semakin tergantungnya kita semua terhadap gawai membawa dampak positif dan negatif, sekaligus.
Pada tahap awal, anak-anak mungkin merasa nyaman bersahabat dengan gawai mereka. Hanya saja, anak-anak itu tidak sadar bahwa gawai adalah benda yang tidak memiliki rasa simpati atau empati kepada penggunanya.
Berinteraksi terus menerus dengan gawai yang tidak punya hati itu, anak-anak terjebak pada rasa bosan, dan akhirnya masuk ke kondisi kesepian.
Pada kondisi kesepian ini, pikiran bawah sadar si anak kemudian rindu pada suasana berbicara ngobrol ngalor ngidul dan santai dengan orang tuanya.
Kepekaan orang tua terhadap kondisi kejiwaan anak remajanya itu diperlukan. Pilihannya adalah, segera taruh gawai, lalu curahkan perhatian pada anak.
Berbicaralah, dengan topik apapun yang tema itu mampu menjadi jalan bagi anak merasakan kenyamanan. Pada tahap ini, orang tua perlu berhati-hati agar tidak terperangkap dalam sikap suka menilai, apalagi menghakimi pada anak.
Anak tidak membutuhkan penghakiman. Ia hanya butuh sarana katarsis, sekaligus meyakinkan bahwa orang tuanya juga hadir lahir batin untuk menjadi teman bertumbuh bagi si anak.
Agar sambungan jiwa lebih kuat, peluk anak remaja itu untuk menghadirkan rasa nyaman yang lebih dalam. Sentuhan fisik orang tua membekaskan rasa nyaman dan aman bagi anak, apalagi bagi yang sedang terjerat rasa kesepian.
Mungkin sudah terlalu lama para orang tua mempercayakan pengasuhan dan pengisian tangki cinta anaknya itu kepada gawai. Bersamaan dengan itu, minta maaflah, berterima kasihlah, dan ucapkan "Aku sayang kamu" pada anak.
Frasa meminta maaf, berterima kasih, kemudian mengucapkan ungkapan sayang terhadap anak adalah metode yang efektif untuk mengantarkan anak menerima dan menyayangi diri, dengan apa adanya.
Selamat memulai dan membiasakan interaksi mendalam dengan anak-anak remaja yang kesepian. Ikhtiar ini, sekaligus membantu menghantarkannya menuju visi bangsa untuk menjadikan mereka generasi emas 2045.
