Bondowoso (ANTARA) - Seorang guru bimbingan konseling (BK) sekolah menengah atas di satu kota terpaksa mengizinkan muridnya "membolos" sebagai strategi menyelamatkan kesehatan mental si murid.
Terkait Hari Kesehatan Mental Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 10 Oktober, kisah guru yang mengizinkan muridnya "bolos" itu memang tindakan terpaksa yang dilakukan agar jiwa si anak berjeda dari rutinitas yang menyebabkannya tertekan.
Kesimpulan bahwa kesehatan mental si murid itu bermasalah diketahui setelah si murid diketahui menangis tanpa sebab di sekolah. Ketika diajak bicara, si murid menumpahkan segala hal mengenai tekanan yang dialaminya, terutama dari orang tua dan saudara-saudaranya.
Kesehatan mental si murid diketahui bermasalah karena, selama ini, ia dituntut oleh orang tuanya harus pandai di bidang eksakta di sekolah, sementara dia lebih menyukai pelajaran bidang humaniora.
Masih berkaitan dengan kesehatan mental, si anak juga mengaku selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya yang pintar di bidang sains dan kini kuliah di kampus berbasis teknologi.
Si anak mengalami masalah kesehatan mental karena bidang studi yang lebih dia sukai dan harapkan adalah psikologi.
Demi menyelamatkan kesehatan mental si murid, sang guru akhirnya mengizinkan muridnya itu untuk tidak masuk sekolah esok harinya. Si guru menyarankan agar muridnya itu menikmati hari di rumah dengan santai. Si guru kemudian menghubungi orang tua si murid, dan memberitahukan bahwa si murid itu memang perlu istirahat.
Sang guru juga berbicara dengan orang tua murid mengenai kondisi kesehatan mental anak. Anak remaja itu perlu diajak bicara dengan leluasa, tanpa penghakiman dan tekanan.
Kolaborasi guru dengan orang tua dalam upaya menyelamatkan kesehatan mental anak remaja itu menunjukkan hasil menggembirakan. Beberapa hari kemudian, si murid tidak lagi menjalani hidup dengan rasa tertekan. Pikirannya menjadi lebih santai, dan hal itu berdampak pada suasana belajar.
Kalau sebelumnya, karena kesehatan mental yang terganggu, si murid merasa kesulitan menerima pelajaran di kelas, kini, ia merasa lebih tenang dan mengaku bahwa dia lebih mudah mencerna pelajaran.
Kisah si murid di atas memberi pelajaran mengenai kesehatan mental, sekaligus peringatan bagi banyak pihak bahwa kehidupan remaja rentan dengan gangguan mental yang terkadang tidak mudah terdeteksi.
Kebanyakan orang tua mungkin menganggap kesehatan mental anaknya tidak ada masalah, karena anaknya dianggap baik-baik saja. Padahal jiwa anak tertekan, hanya saja tidak berani menunjukkan kepada orang tuanya.
Kementerian Kesehatan mengungkap hasil survei yang dilakukan oleh Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022, ada 15,5 juta atau sekitar 34,9 persen remaja di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menunjukkan 1 di antara 7 anak berusia 10-19 tahun di seluruh dunia mengalami masalah kesehatan mental.
Untuk itu diperlukan kepedulian semua pihak dalam menyikapi masalah kesehatan mental para remaja, terutama anak-anak yang sedang berada di bangku sekolah menengah atas (SMA).
Terkait kesehatan mental, masa remaja adalah fase peralihan dari remaja menuju dewasa awal. Secara tubuh para remaja itu terlihat besar dan tidak pantas disebut anak-anak, namun secara jiwa mereka mengalami anomali atas peralihan yang dalam psikologi disebut sebagai tugas perkembangan itu.
Untuk menjaga kesehatan mental kaum remaja, para orang tua, baik ayah maupun ibu, sama-sama memegang peranan penting, karena bagi anak, figur orang tua adalah sandaran jiwa.
Orang tua yang abai pada perkembangan kesehatan mental anak remajanya akan menyebabkan si anak mudah masuk ke kubangan masalah. Pada akhirnya, masalah anak remaja juga menjadi masalah si orang tua.
Kepedulian itu bisa dilakukan dengan seringnya orang tua memperhatikan perilaku sehari-hari si anak. Apakah si anak itu terlihat ceria atau murung.
Kalau orang tua menemukan si anak murung, itu pertanda bahwa kesehatan mental si anak sedang bermasalah. Orang tua bisa berkomunikasi dengan guru di sekolah, terutama guru bimbingan konseling (BK).
Dalam ikhtiar menyelamatkan kesehatan mental si anak remaja itu, orang tua bisa bekerja sama dengan guru BK, mengenai apa yang harus dilakukan menyikapi persoalan si anak.
Dasar utama yang harus menjadi pegangan orang tua dalam upaya mengembalikan kesehatan mental si anak adalah mau berkompromi dengan keadaan atau menurunkan ego.
Demi mengembalikan kesehatan mental anaknya, orang tua tidak bisa bertahan dengan idealitas hidup untuk anaknya di masa depan, seperti si anak harus mendapat nilai tertentu atau tinggi di sekolah atau si anak harus memilih jurusan tertentu untuk kuliah.
Menjaga kesehatan mental si anak mensyaratkan orang tua untuk belajar mengubah posisi relasi dengan anak. Jika selama ini orang tua biasa menunjukkan relasi kuasa dalam mengasuh anak, bisa dicoba masuk ke relasi setara.
Terkait menjaga kesehatan mental, anak-anak masa kini tidak bisa lagi dihadapi dengan model kuasa dan paksaan. Anak-anak perlu diposisikan setara, sehingga orang tua harus belajar menjadi seperti teman bagi anaknya.
Bagi orang tua dengan latar belakang budaya tertentu, mungkin akan kesulitan untuk masuk ke dalam relasi setara dengan anak, namun demi kesehatan mental si anak terpelihara, orang tua tidak boleh bersikukuh dengan egonya.
Selain orang tua, keluarga terdekat juga harus menunjukkan kepedulian terhadap perkembangan kesehatan mental anak remaja. Keluarga terdekat itu mungkin kakak, atau paman dan bibi, atau yang lainnya. Keluarga terdekat itu harus mengevaluasi diri, apakah sudah menjadi penyebar rasa aman bagi si anak remaja atau justru sebaliknya, penebar tekanan.
Keluarga terdekat harus mulai bekerja sama dengan mencoba memosisikan diri menjadi layaknya teman bagi si remaja, demi menjaga kesehatan mental si remaja.
Pihak yang juga tidak kalah penting adalah guru di sekolah. Guru merupakan salah satu penjaga gawang terpenting dalam mengawasi kesehatan mental anak remaja.
Dalam upaya menjaga kesehatan mental para remaja, guru dituntut memiliki kepekaan melihat perilaku para siswa. Jika si guru menemukan murid bermasalah dan tidak memiliki kemampuan mengatasi, bisa berkoordinasi dengan guru BK.
Dengan kepedulian para pihak terhadap kesehatan mental remaja, yakni orang tua, keluarga dekat, guru, dan mungkin juga teman sebaya, maka bangsa ini terbebas dari masalah dalam mengantarkan generasi muda menuju cita-cita di masa depan. Apalagi mereka adalah bagian dari generasi emas yang dipersiapkan untuk mewujudkan Indonesia unggul pada 2045.
