Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat bahwa Indonesia memiliki potensi besar sebagai penyimpan karbon biru, jauh melebihi ekosistem daratan.
Ketua Tim Kerja Perencanaan Strategis dan Lintas Sektor KKP Ade Wiguna, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis, mengatakan ekosistem karbon biru, seperti hutan bakau (magrove) dan padang lamun (seagrass) di perairan Indonesia unggul dalam menyerap dan menyimpan karbon dioksida (CO2). Ketahanan penyimpanannya bisa berabad-abad hingga ribuan tahun di sedimen.
“Ekosistem karbon biru ini menyimpan dua sampai lima kali lebih besar daripada ekosistem hutan daratan,” katanya.
Karbon biru adalah istilah untuk karbon yang diserap dan disimpan oleh ekosistem pesisir dan laut. Ekosistem ini memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida dari atmosfer. CO2 diserap oleh organisme laut dan disimpan dalam jangka panjang, baik di dalam biomassa maupun sedimen.
Pengelolaan karbon biru merupakan bagian dari kebijakan memperluas kawasan konservasi laut dan pengawasan dan pengendalian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam Rencana Strategis (Renstra) KKP 2025-2029.
Secara kuantitas, Ade menyebut potensi karbon biru Indonesia sangat masif. Hutan mangrove seluas 3,4 juta hektare diperkirakan menyimpan cadangan karbon sebesar 887 juta ton.
Sedangkan padang lamun seluas 1,8 juta hektare menyimpan estimasi 190 juta ton karbon.
Namun, Ade mengatakan pemanfaatan potensi ini terbentur oleh berbagai isu strategis. Sejak 1980 hingga 2000, sekitar 52.000 hektare mangrove hilang per tahun, sebagian besar akibat alih fungsi menjadi tambak.
Degradasi juga mengancam padang lamun, dengan 10 persen dari total luasnya diperkirakan telah hilang dalam 10 tahun terakhir.
Selain itu, limbah industri, polusi plastik, dan aktivitas pertambangan juga disebutnya telah merusak ekosistem pesisir.
Masih rendahnya kesadaran masyarakat, konflik kepentingan pemanfaatan ruang, serta keterbatasan data dan pendanaan juga menjadi tantangan serius.
Untuk mengatasi hambatan-hambatan itu, Ade menyatakan pemerintah akan menerapkan pendekatan holistik, integratif, dan spasial dalam Rencana Strategis (Renstra) 2025-2029.
Strategi ini mencakup perlindungan, rehabilitasi, serta pemanfaatan dan monetisasi kredit karbon.
Program prioritasnya meliputi pemetaan kawasan dan pengelolaan karbon biru, penyelenggaraan nilai ekonomi karbon, rehabilitasi kawasan karbon biru, penguatan data melalui ocean accounting dan ocean big data, pembangunan ocean monitoring system, dan pendanaan inovatif.
Selain itu, pemerintah akan fokus pada peningkatan kesadaran dan kapasitas masyarakat pesisir untuk menjaga ekosistem.
Semua langkah ini bertujuan untuk memastikan potensi karbon biru Indonesia dapat dikelola secara optimal demi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
17 lokasi
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah menyiapkan 17 lokasi indikatif yang akan ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional tertentu (KSNT) sebagai cadangan karbon biru.
Direktur Jenderal Penataan Ruang Laut KKP Kartika Listriana menjelaskan penetapan lokasi ini mencerminkan komitmen nasional dalam mengelola ekosistem karbon biru, melindungi lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
“Ini akan mempresentasikan kepentingan nasional untuk pengelolaan ekosistem karbon biru,” ujar Kartika dalam Lokakarya Nasional Penataan Ruang Laut di Jakarta, Kamis (11/9).
Ia menambahkan, beberapa lokasi, khususnya di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, akan menjadi prioritas utama untuk pemulihan ekosistem.
Karbon biru adalah istilah untuk karbon yang diserap dan disimpan oleh ekosistem pesisir dan laut. Ekosistem ini, seperti hutan bakau (mangrove), padang lamun (seagrass), dan rawa pasang surut.
Ekosistem ini memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer—bahkan melebihi hutan di daratan. Setidaknya 55 persen karbon global diserap oleh organisme laut dan disimpan dalam jangka panjang, baik di dalam biomassa maupun sedimen.
Kartika melanjutkan pengembangan karbon biru juga akan mencakup kawasan strategis nasional lainnya, seperti aglomerasi kota-kota pesisir seperti Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi), Gerbangkertosusila (Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan), dan Kedungsepur (Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, dan Purwodadi).
Tak hanya itu, KKP juga berencana mendorong kawasan situs warisan dunia di Bangka Belitung untuk menjadi carbon free island.
“Tentunya ke depan, hal-hal tersebut dapat direncanakan dan dikelola secara terintegrasi dengan prioritas perencanaan yang ada di masing-masing kawasan,” kata Kartika.
Kartika optimistis bahwa ekosistem laut, khususnya lamun, dapat memperkuat perdagangan karbon dan pada saat yang sama meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ia menyebut lamun memiliki potensi besar untuk perdagangan karbon di pasar global karena kemampuannya menyimpan karbon hingga 82.000 ton CO2 per kilometer persegi. Potensi ini dapat dimanfaatkan melalui berbagai skema, termasuk pasar sukarela (voluntary carbon market) dan kemitraan publik-swasta.
Namun, pengembangan ini menghadapi tantangan. Kartika menekankan pentingnya regulasi turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Presiden tentang nilai ekonomi karbon. Regulasi ini sangat dibutuhkan untuk menetapkan metodologi baku dalam mengukur kandungan karbon di lamun, sehingga mempermudah implementasi di lapangan.
Ilmuwan
Ilmuwan Australia menemukan bahwa sebagian besar karbon yang tersimpan di tanah lahan basah pesisir berasal dari tumbuhan di luar lahan basah tersebut, menyoroti peran lebih luas yang dimainkannya dalam penyimpanan karbon global.
Tim dari Institut Ilmu Kelautan Australia (Australian Institute of Marine Science/AIMS) menciptakan model matematika yang menstandarkan dan menganalisis data dari ratusan pengukuran yang dilakukan di tanah di bawah lahan basah rawa garam, bakau, dan lamun, menurut pernyataan AIMS yang dirilis pada Selasa (19/8).
"Meskipun sumber karbon organik sangat bervariasi dan bergantung pada lokasi dan kondisi, kami menemukan bahwa secara umum lebih dari separuh karbon organik yang tersimpan di tanah ini berasal dari tumbuhan di luar lahan basah, seperti rumput laut dan tumbuhan darat yang tumbuh di lepas pantai dan hulu," kata Chris Fulton, ilmuwan riset AIMS.
"Ini berarti kita perlu mulai memandang lahan basah karbon biru ini sebagai bagian dari matriks yang saling terhubung," tambah Fulton, seraya menambahkan bahwa melindungi bakau saja tidak cukup, dan diperlukan pengelolaan pesisir secara menyeluruh untuk menjaga semua sumber karbon.
Karbon biru (blue carbon) adalah istilah untuk karbon yang ditangkap oleh ekosistem laut dan pesisir dunia, mengacu pada proses penangkapan (capture) dan penyimpanan (storage) karbon dioksida dari atmosfer melalui proses pertumbuhan dan pembusukan tumbuhan alami yang menghilangkan gas rumah kaca dari atmosfer untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Studi tersebut menunjukkan bahwa proses isolasi karbon biru dapat ditingkatkan dengan memahami bagaimana berbagai jenis tumbuhan menyumbang karbon ke lahan basah yang telah dipulihkan, yang berpotensi membuka pendanaan besar di saat Australia dan dunia mencari solusi penangkapan dan penyimpanan karbon demi mencapai emisi net zero.
Fulton menjelaskan bahwa kelebihan karbon di atmosfer menyebabkan berbagai peristiwa iklim seperti gelombang panas laut, banjir, dan kebakaran, menekankan perlunya untuk membantu tumbuhan pesisir mengubur karbon sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca.
Temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Global Change Biology ini menekankan perlunya memperbarui sistem kredit karbon biru di Australia dan dunia agar mencakup semua sumber karbon penting, bukan hanya tumbuhan yang membentuk lahan basah.
