Jakarta (ANTARA) - Transformasi keuangan digital Indonesia tengah berada pada titik persimpangan yang genting.
Pertumbuhan ekonomi digital Indonesia pada 2024 yang mencapai 90 miliar dolar AS dan diperkirakan terus meningkat, di baliknya tersimpan tantangan besar terkait bagaimana memastikan keamanan, inklusivitas, dan keberlanjutan dalam ekosistem keuangan nasional yang kian kompleks.
Dalam forum Indonesia Digital Bank Summit (IDBS) 2025 yang digelar Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) di Jakarta pada 19 Agustus 2025 dibahas mengenai pentingnya kolaborasi lintas sektor demi memperkuat fondasi kepercayaan publik terhadap sistem keuangan digital.
Dari sini diharapkan ada wujud nyata dari upaya membangun sinergi antara perbankan, fintech, regulator, dan sektor riil untuk merumuskan solusi bersama atas berbagai tantangan yang dihadapi industri.
Apalagi pertumbuhan transaksi digital di Indonesia menunjukkan geliat signifikan, dengan data Bank Indonesia mencatat nilai transaksi QRIS mencapai Rp317 triliun pada kuartal II 2025, meningkat 121 persen secara tahunan.
Lebih dari 57 juta pengguna telah memanfaatkan layanan ini, dan 93 persen merchant yang terlibat berasal dari kalangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Fakta ini tidak hanya mencerminkan keberhasilan adopsi teknologi, tetapi juga menegaskan potensi digitalisasi sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, seiring meluasnya penggunaan layanan keuangan digital, risiko kejahatan siber, penipuan daring, dan kebocoran data menjadi ancaman serius yang perlu diantisipasi bersama.
Deputi Komisioner Pengawas Bank Swasta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indarto Budiwitono menekankan bahwa transformasi digital sektor perbankan tidak bisa lagi ditunda.
Tantangan keamanan siber, menurut Indarto, memerlukan investasi berkelanjutan dalam teknologi cloud, kapabilitas analitik data, dan integrasi kecerdasan buatan atau AI, karena perlindungan reputasi dan keberlangsungan bisnis kini menjadi prioritas utama.
Ruang dialog
Ketua Umum AFTECH Pandu Sjahrir menegaskan pentingnya ada ruang dialog dan arena untuk menghasilkan terobosan nyata.
Pandu memaparkan tiga fokus utama tahun ini mencakup penguatan ketahanan siber dan pencegahan penipuan berbasis intelijen bersama, perancangan produk keuangan yang lebih inklusif bagi UMKM dan masyarakat underserved, serta pembentukan arsitektur kolaborasi lintas sektor yang berkelanjutan.
Pandu menekankan bahwa keuangan digital yang terpercaya akan menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi yang aman, adil, dan berkelanjutan.
Dengan kerja sama erat antara bank, fintech, regulator, dan sektor riil, target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar delapan persen bukanlah angan-angan, melainkan visi yang bisa dicapai melalui sinergi strategis.
Sementara itu Wakil Ketua Umum II AFTECH Budi Gandasoebrata turut menyoroti tiga pilar penting dalam membangun ekosistem keuangan digital yang sehat.
Pilar pertama adalah regulasi dan pengawasan adaptif berbasis risiko agar inovasi teknologi tidak mengorbankan keamanan.
Pilar kedua adalah pemanfaatan teknologi seperti AI dan open finance dengan tata kelola yang akuntabel.
Dan pilar ketiga, yang tak kalah penting, adalah edukasi publik dan kampanye anti-penipuan digital secara masif dan terintegrasi.
Budi menegaskan kolaborasi lintas sektor dibutuhkan agar kepercayaan publik terhadap keuangan digital tetap kokoh, sebab kepercayaan adalah fondasi yang menentukan keberhasilan seluruh ekosistem.
Tantangan utama UMKM di Indonesia meliputi keterbatasan akses pasar, pembiayaan, dan literasi keuangan.
Untuk menjawab hal ini, perbankan dan fintech sepakat membangun ekosistem digital yang memungkinkan penilaian kredit berbasis data transaksi elektronik.
Namun, digitalisasi saja tidak cukup. Edukasi literasi keuangan dan pendampingan berkelanjutan sangat penting agar UMKM mampu mengelola keuangannya secara lebih baik, sehingga mereka dapat menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional.
