Jakarta (ANTARA) - Ketika negara kecil, seperti Israel, dengan populasi kurang dari 10 juta, terus mengambil langkah ekspansionis militer, pertanyaan yang patut diajukan adalah; apakah strategi ini betul-betul menjamin keamanan nasional, atau justru menjauhkan dari perdamaian yang lestari?
Profesor Wang Yiwei, dari Renmin University of China, dalam refleksinya yang dikutip dari The China Academy, menilai bahwa Israel telah melakukan dua kesalahan strategis besar. Pertama, mengandalkan kekuatan militer, alih-alih diplomasi dalam menghadapi ketegangan regional. Kedua, menetapkan tujuan politik yang mustahil, seperti perubahan rezim di Iran.
Ia menekankan bahwa Israel, sebagai negara dengan keterbatasan geografis dan demografis, tidak memiliki kemewahan untuk terlibat dalam konflik berkepanjangan melawan negara-negara Arab yang secara kolektif memiliki populasi lebih dari satu miliar.
Alih-alih menempuh jalur diplomasi untuk menciptakan stabilitas jangka panjang, Israel memilih pendekatan militeristik yang agresif, termasuk serangan preemptif terhadap Iran dengan alasan ancaman nuklir.
Namun, seperti dilaporkan The New York Times (19/6), meskipun Iran memiliki uranium yang cukup untuk membuat bom, intelijen AS mengindikasikan bahwa negara itu belum membuat keputusan untuk membangun senjata nuklir. Ironisnya, justru agresi eksternal terhadap Iran dapat menjadi pemicu bagi keputusan tersebut.
Lebih jauh lagi, Israel sendiri tidak pernah mengakui secara resmi kepemilikan senjata nuklirnya, meskipun laporan dari The Times dan pengakuan Mordechai Vanunu pada 1986 menunjukkan bahwa negara ini memiliki 80 hingga 200 hulu ledak nuklir.
Strategi ketakutan dan penggunaan kekuatan yang sepihak ini tidak hanya menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan di kawasan, tetapi juga meningkatkan motivasi bagi negara-negara lain untuk melakukan hal serupa demi menciptakan "keseimbangan strategis" yang rapuh.
Oleh karena itu, sangat penting bagi Israel untuk menghormati gencatan senjata yang telah disepakati dan menunjukkan komitmen terhadap penyelesaian damai.
Sejarah mencatat bahwa Israel berkali-kali melanggar gencatan senjata, termasuk dalam konflik-konflik di Gaza. Misalnya, menurut United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), dalam perang Gaza 2014 dan 2021, gencatan senjata beberapa kali dilanggar oleh serangan mendadak dari pihak Israel, tidak lama setelah kesepakatan dicapai.
Laporan dari Al Jazeera dan Human Rights Watch juga menunjukkan bahwa, bahkan jeda kemanusiaan pun sering digunakan oleh militer Israel untuk mengonsolidasikan posisi dan meluncurkan serangan susulan.
Pola pelanggaran seperti ini tidak hanya menggerus kepercayaan publik internasional terhadap proses perdamaian, tetapi juga memperkuat posisi kelompok garis keras di pihak lawan yang menggunakan kegagalan gencatan senjata sebagai justifikasi untuk terus berperang.
Jika Israel benar-benar menginginkan keamanan jangka panjang dan bukan hanya kemenangan taktis sesaat, maka jalan satu-satunya adalah dengan membangun kepercayaan melalui penghormatan konsisten terhadap gencatan senjata. Komitmen ini akan jauh lebih berdampak daripada pembenaran kekerasan yang terus-menerus diproduksi melalui narasi ancaman nuklir yang belum terbukti.
Dalam iklim global yang semakin menuntut akuntabilitas dan diplomasi multilateral, ketaatan terhadap kesepakatan damai bukanlah kelemahan, melainkan langkah bijaksana dan strategis untuk mengamankan masa depan.
Pelajaran kegagalan AS
Kesalahan strategis kedua adalah ambisi menggulingkan pemerintahan Iran, tujuan yang tidak realistis, baik dari sisi politik maupun militer. Sejarah membuktikan bahwa kekuatan militer tidak dapat memaksakan legitimasi politik jangka panjang.
AS gagal total dalam proyek rekonstruksi di Afghanistan dan Irak. Pemerintah boneka yang dibentuk dengan paksa tidak bertahan lama, dan justru menimbulkan perlawanan rakyat yang intens.
Profesor Wang menyoroti bahwa meskipun perubahan sistemik di Iran mungkin dapat terjadi melalui modernisasi ekonomi dan integrasi global, namun model ekonomi negara-negara Barat, saat ini justru semakin eksklusif dan hierarkis, mirip sistem kasta. Ditambah lagi, dengan keterbatasan fiskal di negara-negara G7, bantuan atau insentif bagi Iran untuk berubah secara damai nyaris tidak tersedia. Maka, tekanan militer dan ekonomi dari luar hanya akan menguatkan nasionalisme konservatif di dalam negeri Iran.
Contohnya dapat dilihat dari perubahan sikap para atlet Iran, jika sebelumnya mereka menolak menyanyikan lagu kebangsaan sebagai bentuk protes terhadap pemerintah, kini mereka kembali menunjukkannya sebagai bentuk kesetiaan. Ini adalah indikator bahwa agresi dari luar kerap menyatukan kembali masyarakat di balik pemerintah yang semula mereka kritik.
Relevansi bagi Indonesia
Apa pelajaran yang dapat kita tarik dari dinamika ini untuk Indonesia? Pertama, Indonesia sebagai negara dengan kebijakan luar negeri bebas aktif perlu terus mendorong pendekatan diplomatik dan jalan damai dalam penyelesaian konflik internasional. Ketegangan antara Israel dan Iran, yang diperkeruh oleh intervensi Amerika Serikat dan dukungan militer sepihak, hanya akan membawa eskalasi yang tidak berkesudahan.
Dalam posisi Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB di masa lalu dan sebagai pemimpin G20 sebelumnya, kita memiliki modal moral untuk menyerukan penghentian militerisme dan mendorong diplomasi multilateral.
Kedua, Indonesia harus waspada terhadap tekanan geopolitik global yang mendorong polarisasi antara blok Barat dan Timur. Seperti dijelaskan Profesor Wang, modernisasi tidak dapat dipaksakan lewat sanksi dan invasi, apalagi oleh sistem ekonomi global yang eksklusif.
Indonesia harus konsisten mengedepankan pendekatan berbasis kerja sama Selatan-Selatan (South-South Cooperation) dan memperkuat solidaritas dengan negara-negara berkembang untuk memastikan bahwa pembangunan dan keamanan tidak menjadi alat dominasi geopolitik.
Ketiga, masyarakat Indonesia perlu kritis terhadap narasi-narasi yang diimpor dari media internasional. Banyak opini publik di dunia Barat yang masih dibentuk oleh bias media terhadap Iran dan negara-negara Muslim lainnya. Di sinilah pentingnya peran media dan intelektual Indonesia dalam menawarkan perspektif yang adil dan berbasis fakta.
Langkah konkret Indonesia
Melihat dinamika yang terjadi di Timur Tengah, Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton pasif. Sebagai negara dengan sejarah panjang dalam memperjuangkan perdamaian dan solidaritas antarbangsa, ada beberapa langkah konkret yang dapat diambil, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Pertama, Indonesia perlu mengambil peran lebih aktif dalam memperkuat diplomasi kawasan. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim dan hubungan baik dengan berbagai negara Timur Tengah, Indonesia memiliki posisi strategis untuk menjadi jembatan dialog damai di kawasan tersebut.
Semangat Konferensi Asia-Afrika yang pernah digagas oleh para pendiri bangsa, yang menolak imperialisme dan mengedepankan penyelesaian damai, masih sangat relevan untuk saat ini. Upaya diplomasi ini bisa diwujudkan melalui inisiatif pertemuan antar-negara, penguatan forum multilateral, hingga kerja sama kemanusiaan lintas kawasan.
Kedua, Indonesia perlu terus menjaga prinsip bebas dan aktif dalam kebijakan luar negerinya. Dalam konteks global yang semakin terpolarisasi, pemerintah harus menolak terseret dalam politik blok dan tidak ikut dalam intervensi militer negara lain.
Namun, sikap netral bukan berarti pasif. Justru Indonesia harus tetap vokal dalam membela nilai-nilai kemanusiaan dan hukum internasional, terutama ketika ada pelanggaran nyata terhadap hak-hak sipil atau agresi sepihak yang membahayakan stabilitas kawasan.
Ketiga, masyarakat Indonesia, khususnya kalangan sipil, akademisi, dan pendidik, perlu mendorong literasi geopolitik yang lebih luas. Dalam era banjir informasi dan perang opini di media sosial, rakyat Indonesia harus dibekali dengan pemahaman mendalam tentang dinamika global, termasuk konflik yang terjadi di luar negeri.
Dengan literasi yang baik, masyarakat tidak mudah termakan narasi manipulatif, propaganda asing, atau polarisasi dunia maya yang memperkeruh ruang publik kita.
Keempat, penting bagi Indonesia untuk menjaga ketahanan nasional dari potensi rembesan konflik global ke dalam negeri. Sejarah menunjukkan bahwa konflik di luar negeri sering kali dijadikan bahan bakar bagi pertikaian domestik, terutama lewat provokasi sektarian, ujaran kebencian, dan politik identitas.
Pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat sipil harus bersinergi untuk memastikan bahwa ruang sosial Indonesia tetap damai, inklusif, dan tidak menjadi ladang konflik proksi pihak luar.
Dengan pendekatan yang strategis dan berakar pada nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian, Indonesia bisa memainkan peran penting dalam merawat stabilitas kawasan dan dunia. Sebuah peran yang bukan hanya pantas, tetapi juga mendesak di tengah dunia yang kian terbelah.
*) Antonius Sumarwan, SJ adalah dosen Universitas Sanata Dharma dan peneliti pada Global Development Research Centre (GDRC).
