Bogor (Antaranews Megapolitan) - Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) merupakan kawasan hutan di Riau yang menjadi habitat Gajah Sumatera. Pengurangan habitat gajah akibat kegiatan manusia menyebabkan Konflik Manusia dengan Gajah (KMG). Upaya yang dilakukan dalam mengatasi konflik tersebut ialah dengan membangun Flying squad melalui kerjasama antara Pengelola TNTN dan World Wide Fund for Nature (WWF). Flying squad memanfaatkan gajah latih untuk menggiring gajah liar yang keluar kawasan hutan menuju ke dalam kawasan taman nasional.
Untuk menghasilkan gajah yang terlatih diperlukan manajemen pelatihan yang sesuai dengan perilaku alami gajah, tingkat kecerdasan gajah menurut umur, jenis kelamin dan kondisi fisiknya serta tidak menimbulkan dampak buruk terhadap gajah maupun pelatih (mahout).
Burhanuddin Masyud peneliti dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor (IPB) menjelaskan bahwa manajemen pelatihan gajah mencakup beberapa aspek yaitu kurikulum pelatihan gajah, teknik/metode pelatihan gajah dan ukuran/tingkat keberhasilan dalam pelatihan gajah.
“Pelatihan yang diberikan memberikan pengaruh terhadap perilaku harian gajah. Tingkah laku gajah lebih banyak didapatkan dari proses belajar dibanding insting. Gajah dianggap sebagai satwa sangat cerdas sehingga akan dapat mempelajari dan memahami materi pelatihan dengan cepat jika metode yang diterapkan juga tepat. Gajah juga memiliki ingatan mengesankan, mampu mengingat suatu benda dalam waktu lama,” ujarnya.
Bersama peneliti lainnya yaitu Arum Ratnasari dan Abdul Haris Mustari, Ia mengidentifikasi manajemen pelatihan dan perilaku harian gajah di FS WWF TNTN. Tim ini menjelaskan bahwa daftar ajar yang diberikan dalam pelatihan tercakup dalam beberapa tahap. Mulai dari tahap adaptasi, latihan dasar (latihan dinaiki punggung, mengikuti gajah lain, latihan dikendalikan), latihan lanjutan (latihan mengambil barang dengan belalai, latihan duduk yang lama, dan latihan angkat kaki untuk naik dan turun mahout) dan pengembangan (latihan membuang rintangan pohon dengan belalai, merobohkan kayu, bertarung dan sebagainya).
“Kurikulum pelatihan yang terdapat di Flying squad WWF Riau belum menjadi panduan pelatihan yang baku. Terdapat 20 materi ajar yang diberikan untuk setiap gajah dengan beberapa tahapan yaitu tahap adaptasi, tahap latihan dasar, tahap latihan lanjutan dan tahap pengembangan. Untuk tahap pengembangan difungsikan untuk dua spesifikasi gajah yaitu gajah mitigasi konflik dan gajah tunggang untuk kegiatan ekowisata. Mahout (pelatih) mengombinasikan perintah verbal (ucapan), visual (kode) dan fisik (menekan bagian tubuh gajah) dalam teknik pelatihan karena gajah memiliki penglihatan yang baik dan pendengaran yang tajam,” tuturnya.
Gajah dikatakan berhasil dilatih jika telah mampu melakukan perintah yang diberikan oleh mahout tanpa melakukan kesalahan. Nilai rata-rata jumlah keterampilan yang dikuasai gajah cenderung meningkat sejalan dengan lamanya pelatihan. Keahlian mahout dan kondisi fisik gajah sangat berpengaruh terhadap kemampuan gajah menangkap materi ajar yang diberikan.
“Untuk perilaku harian gajah, perilaku ingestif (aktifitas mencari makan) pada siang hari menunjukkan persentase tertinggi dibandingkan perilaku lainnya. Pada siang hari gajah aktif bergerak mencari makanan di tempat penggembalaan. Perilaku ingestif pada malam hari menunjukkan persentase perilaku tertinggi untuk betina dewasa dan anak sedangkan pada jantan dewasa perilaku shelter seeking (berteduh) menunjukkan perilaku tertinggi. Hal tersebut terjadi karena pada malam hari gajah menggunakan waktunya untuk istirahat dan tidur. Gajah tidak aktif dalam melakukan perilaku makan disebabkan karena jumlah pakan dan ruang gerak yang terbatas,” ungkapnya.(IR/Zul)
Ini dia pelatih gajah asal IPB
Rabu, 13 Juni 2018 5:45 WIB
Pelatihan yang diberikan memberikan pengaruh terhadap perilaku harian gajah. Tingkah laku gajah lebih banyak didapatkan dari proses belajar dibanding insting.