Jakarta (ANTARA) - Dalam sistem hukum yang demokratis, setiap proses peradilan harus dijalankan secara transparan, objektif, dan berdasarkan prinsip keadilan.
Salah satu unsur penting dari proses ini adalah surat dakwaan, yaitu dokumen resmi yang disusun oleh jaksa penuntut umum untuk menguraikan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.
Namun, penting untuk dipahami bahwa surat dakwaan bukanlah keputusan hukum final, melainkan titik awal dari proses pengujian di pengadilan.
Ketika sebuah nama disebut dalam surat dakwaan, hal itu belum otomatis menunjukkan keterlibatan hukum seseorang.
Penyebutan nama bisa jadi bagian dari konteks yang perlu diuji kebenarannya lebih lanjut. Dalam hukum pidana Indonesia, yang menganut asas kebenaran materiel, keterlibatan seseorang dalam tindak pidana harus dibuktikan secara terang benderang.
Tidak cukup hanya dengan menyebut rencana atau dugaan pembagian keuntungan dari hasil kejahatan, melainkan harus ada rangkaian bukti yang konkret, jelas, dan dapat diverifikasi misalnya melalui saksi, dokumen, atau alat bukti lain yang sah secara hukum.
Di sinilah letak pentingnya kehati-hatian publik dalam merespons berita-berita yang bersumber dari surat dakwaan.
Dakwaan adalah konstruksi awal, yang sifatnya bisa berubah, berkembang, atau bahkan gugur di pengadilan, tergantung pada kekuatan pembuktian.
Oleh karena itu, membangun opini hanya berdasarkan isi dakwaan, tanpa mengikuti proses pembuktian lebih lanjut, dapat menyesatkan dan berpotensi mencederai asas praduga tak bersalah yang merupakan pilar utama dalam sistem hukum modern.
Ini tercermin salah satunya dalam berita yang kini sedang hangat diperbincangkan tentang Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum terkait kasus Korupsi perjudian online (Judol) yang melibatkan pegawai Kominfo di era Budi Arie Setia (BAS) sebagai Menkominfo. Di antaranya nama nama yang telah menjadi terdakwa, adalah ZA, AK, AJK dan kawan kawan.
Salah satu aspek yang sering luput dari perhatian publik adalah perbedaan antara penyebutan nama dan status hukum seseorang dalam kasus pidana.
Nama seseorang bisa muncul dalam dakwaan karena disebut oleh terdakwa lain atau karena masuk dalam narasi peristiwa, tetapi belum tentu orang tersebut memiliki keterlibatan hukum.
Dalam banyak kasus, jaksa wajib mencantumkan informasi yang disampaikan oleh tersangka, meskipun kebenarannya masih harus diuji. Ini adalah bagian dari prinsip keterbukaan dalam proses penegakan hukum. Namun bukan berarti seluruh isi surat dakwaan telah terverifikasi kebenarannya secara hukum.
Oleh karena itu, perlu dibedakan antara opini terdakwa dan fakta hukum. Dalam banyak kasus, terdakwa dapat menyebut nama-nama lain untuk menjelaskan konstruksi peristiwa atau membangun narasi pembelaan diri.
Namun keterangan seperti ini, jika tidak diperkuat dengan alat bukti lain, tidak dapat dijadikan dasar yang kuat untuk menarik kesimpulan hukum.
Hal inilah yang menjadi tugas pengadilan untuk menguji, menilai, dan memutuskan berdasarkan alat bukti yang sah dan relevan, bukan sekadar pernyataan sepihak.
Proses hukum di pengadilan memiliki tahapan yang ketat. Mulai dari dakwaan, pembuktian, pembelaan, hingga vonis, semuanya harus melewati mekanisme yang diawasi oleh sistem peradilan.
Setiap informasi yang disampaikan dalam dakwaan harus bisa diuji melalui saksi, dokumen, dan pemeriksaan silang. Hakim sebagai pihak yang netral akan memutuskan berdasarkan keseimbangan alat bukti dan bukan opini publik.
Dengan demikian, kesimpulan hukum yang dihasilkan pun tidak dibangun atas dasar asumsi, melainkan melalui proses yang menjunjung tinggi asas keadilan.
Kesadaran Hukum
Masyarakat juga berperan penting dalam menjaga agar proses hukum tidak berubah menjadi pengadilan opini.
Kesadaran hukum publik yang tinggi akan membantu menciptakan ruang yang adil bagi siapa pun yang sedang berhadapan dengan proses hukum.
Menjaga jarak dari prasangka dan membiarkan hukum bekerja sesuai mekanismenya adalah bagian dari tanggung jawab kolektif kita sebagai warga negara yang menghargai due process of law.
Kasus-kasus hukum yang muncul di ruang publik, terutama yang melibatkan pejabat atau tokoh masyarakat, memang kerap menarik perhatian besar.
Namun perhatian ini seharusnya tidak mengaburkan prinsip-prinsip dasar dalam hukum pidana. Praduga tak bersalah adalah jaminan konstitusional yang berlaku untuk semua warga negara tanpa kecuali.
Hanya karena seseorang disebut dalam dakwaan, tidak serta-merta menjadikannya bersalah secara hukum.
Penting juga dipahami bahwa seseorang yang telah dipanggil dan diperiksa oleh aparat penegak hukum, lalu tidak ditetapkan sebagai tersangka, berarti secara hukum tidak ditemukan cukup bukti yang menunjukkan keterlibatan.
Pemeriksaan seperti ini justru merupakan bagian dari prosedur untuk memastikan bahwa semua informasi diuji secara menyeluruh.
Dalam hal ini, proses hukum telah berjalan, dan kesimpulan yang dihasilkan oleh penyidik menjadi rujukan penting bagi publik untuk memahami posisi hukum seseorang secara proporsional.
Bangsa ini tentu mendambakan sistem hukum yang objektif, adil, dan tidak mudah dipengaruhi tekanan opini.
Untuk mewujudkannya, seluruh elemen masyarakat harus memiliki kesadaran untuk memperkuat literasi hukum yang cukup.
Pemahaman yang baik tentang bagaimana sistem hukum bekerja akan membantu masyarakat memilah informasi yang benar dari yang bias, serta menghindari kesimpulan dini yang dapat mencederai nama baik seseorang.
Pada akhirnya, proses hukum yang adil bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi juga tanggung jawab publik dalam bersikap.
Ketika semua sudah mampu menahan diri untuk tidak menghakimi sebelum proses selesai, ketika semua sudah bisa menempatkan kepercayaan pada mekanisme hukum yang sah, maka masyarakat sudah ikut menjaga maruah keadilan.
Dan ketika keadilan ditegakkan dengan prinsip yang benar, semua pihak, tanpa kecuali, akan mendapatkan perlindungan yang layak di mata hukum.
*) Penulis adalah Koordinator Tim Hukum Merah Putih.