Jakarta (ANTARA) - Kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika Serikat jelas menjadi ancaman bagi industri nasional Indonesia karena berpotensi memukul sejumlah sektor ekspor utama seperti garmen, peralatan listrik, alas kaki, hingga minyak nabati.
Aturan tarif Trump itu sempat membuat para pengusaha di tanah air was-was, sebab pasar AS merupakan salah satu tujuan ekspor utama Indonesia.
Di tengah tekanan ini, langkah diplomasi menjadi krusial. Alih-alih membalas ancaman tarif dengan kebijakan serupa, Pemerintah Indonesia memilih jalur negosiasi.
Berbeda dengan China dan Uni Eropa yang merespons dengan aksi balasan, Indonesia mengambil pendekatan diplomasi yang dinilai lebih rasional oleh banyak ekonom.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai Indonesia belum memiliki daya tawar sebesar Uni Eropa atau China, sehingga jalur negosiasi menjadi pilihan yang lebih strategis untuk saat ini.
Pada 16 April 2025 lalu, delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melakukan lawatan ke Washington D.C, AS untuk mulai berunding dengan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), Kementerian Perdagangan AS serta Kementerian Keuangan AS di Washington DC.
Pembahasan teknis negosiasi Indonesia-AS mempertimbangkan lima fokus, yakni, 1. Menjaga ketahanan energi nasional, 2. Memperjuangkan akses pasar ekspor, 3. Mendorong kemudahan berusaha melalui deregulasi, 4. Membangun rantai pasok industri strategis, termasuk mineral kritis, 5. Memperluas akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
Posisi Indonesia dalam negosiasi dengan AS harus tetap menempatkan kepentingan nasional sebagai pondasi utama.
Meskipun tantangan masih membayangi, sejauh ini Indonesia dan AS menunjukkan komitmen untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Dalam 60 hari ke depan, kedua negara berupaya merampungkan negosiasi guna menghindari eskalasi tarif yang dapat merugikan kedua belah pihak.
Tarif resiprokal AS memang akan mengubah tatanan global. Munculnya poros-poros baru seperti BRICS menjadi salah satu contohnya. Ini menjadi respons negara-negara lain dalam menanggapi AS yang justru cenderung menutup diri dan merangkul unilateralisme di bawah komando Trump.
Dalam 60 hari, proses negosiasi akan menjadi ujian nyata apakah Indonesia mampu mempertahankan kepentingan nasional tanpa terjebak dalam eskalasi dagang.
Sebab, kerja sama yang adil bukan semata soal neraca dagang, melainkan juga soal saling menghormati kedaulatan ekonomi masing-masing negara.
Baca juga: Indonesia utamakan kepentingan nasional dalam negosiasi tarif dengan AS
Baca juga: Presiden Prabowo tunggu laporan Airlangga soal negosiasi tarif Trump
Baca juga: Delegasi RI negosiasi tarif AS
Baca juga: Indonesia jadi negara awal yang diterima Amerika Serikat untuk negosiasi tarif