Jakarta (ANTARA) - Pasar saham Indonesia terus mengalami volatilitas yang tinggi, mencerminkan ketidakpastian yang masih mendominasi sentimen investor.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat bangkit dari titik terendahnya dan saat ini bergerak di sekitar level 6.220. Namun, tarik-menarik antara sentimen bullish dan bearish masih cukup kuat, membuat pergerakan indeks tidak stabil.
Investor masih menimbang berbagai faktor global dan domestik sebelum mengambil keputusan investasi yang lebih tegas.
Ketegangan perdagangan global kembali meningkat, mempengaruhi aliran modal ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dalam kondisi seperti ini, respons kebijakan moneter menjadi sangat krusial, terutama dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mempertahankan daya tarik pasar saham domestik.
Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Teuku Riefky memperkirakan bahwa Bank Indonesia (BI) akan mempertahankan suku bunga acuannya di level 5,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan Maret 2025.
Keputusan ini didasarkan pada kondisi inflasi saat ini yang masih berada di bawah target 2,5 persen ± 1 persen, meskipun diperkirakan akan kembali ke kisaran target dalam beberapa bulan mendatang.
Langkah ini menandakan bahwa BI lebih mengutamakan stabilitas rupiah ketimbang memberikan stimulus moneter bagi pasar saham.
Di satu sisi, keputusan ini memberikan kepastian bagi investor bahwa BI tidak akan terburu-buru mengubah kebijakan. Namun, di sisi lain, pasar saham kemungkinan tidak mendapatkan tambahan likuiditas yang dapat mendorong kenaikan indeks secara signifikan.
Sementara itu, tekanan dari aliran dana asing yang keluar dari pasar saham Indonesia masih berlanjut. Investor asing cenderung mengurangi eksposur terhadap aset di negara berkembang ketika risiko global meningkat, termasuk potensi kenaikan suku bunga di Amerika Serikat.
Saat ini, IHSG bergerak dalam kisaran support 6.100-6.150. Jika tekanan jual masih berlanjut, ada potensi indeks akan menguji level psikologis 6.000. Level ini menjadi batas penting karena jika ditembus, bisa memicu tekanan jual yang lebih dalam.
Namun, bagi investor jangka panjang, penurunan ke area ini dapat menjadi peluang untuk melakukan akumulasi saham dengan valuasi menarik.
Sebaliknya, jika sentimen pasar membaik dan arus dana asing mulai kembali masuk, IHSG memiliki peluang untuk kembali menuju level 6.500 dalam jangka menengah.
Tetapi, untuk mencapai kenaikan tersebut, beberapa faktor perlu mendukung, seperti stabilitas rupiah, perbaikan sentimen global, serta pertumbuhan ekonomi domestik yang tetap solid.
Faktor Eksternal
Salah satu faktor eksternal yang menjadi perhatian utama investor adalah keputusan Federal Open Market Committee (FOMC) yang akan datang. Bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), memiliki pengaruh besar terhadap pergerakan modal global.
Jika The Fed memberikan sinyal dovish, yaitu mengindikasikan kemungkinan pemangkasan suku bunga lebih cepat dari ekspektasi pasar, maka pasar saham Indonesia bisa mendapatkan sentimen positif yang dapat mendorong IHSG untuk rebound.
Namun, jika Ketua The Fed Jerome Powell memberikan nada hawkish dengan menegaskan perlunya mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama, maka tekanan terhadap pasar negara berkembang kemungkinan akan semakin besar.
Saat ini, pasar masih terpecah dalam memprediksi langkah The Fed. Data inflasi AS yang masih cukup kuat membuat kemungkinan penurunan suku bunga dalam waktu dekat semakin kecil.
Hal ini bisa berdampak negatif terhadap pasar saham Indonesia karena investor global cenderung menahan dana mereka di aset yang lebih aman seperti obligasi AS.
Di tengah kondisi pasar yang masih berfluktuasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil langkah strategis dengan menerbitkan kebijakan yang memungkinkan perusahaan terbuka melakukan buyback saham tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi menyatakan bahwa kebijakan ini dikeluarkan untuk meredam volatilitas yang berlebihan di pasar saham serta meningkatkan kepercayaan investor.
Langkah ini diambil setelah OJK melakukan pertemuan dengan pemangku kepentingan pasar modal pada awal Maret 2025.
Kebijakan buyback tanpa RUPS bukan pertama kalinya diterapkan di Indonesia. Sebelumnya, langkah serupa pernah diambil saat pandemi COVID-19 pada 2020 ketika pasar tertekan hebat akibat ketidakpastian ekonomi global.
Hasilnya, kebijakan tersebut cukup efektif dalam menstabilkan harga saham emiten yang terdampak tekanan jual berlebihan.
Dengan adanya kebijakan ini, emiten dapat lebih fleksibel dalam menjaga harga sahamnya, terutama di tengah tekanan pasar saat ini.
Namun, efektivitas kebijakan ini tetap bergantung pada kesiapan perusahaan dalam memanfaatkan fasilitas buyback dan kondisi likuiditas yang tersedia di pasar.
Relatif Kuat
Meskipun pasar saham sedang dalam fase transisi, beberapa sektor masih menunjukkan kinerja yang relatif kuat.
Sektor teknologi, misalnya, tetap menjadi salah satu yang menarik perhatian investor. Saham seperti DCII (PT DCI Indonesia Tbk) melonjak lebih dari 19,99 persen, menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap prospek industri data center dan teknologi masih cukup tinggi.
Selain teknologi, sektor konsumer dan perbankan juga berpotensi menjadi pilihan menarik bagi investor, mengingat daya beli masyarakat yang masih cukup kuat serta stabilitas sektor keuangan yang terus dijaga oleh otoritas terkait.
Di sisi lain, sektor komoditas masih menghadapi ketidakpastian, terutama terkait dengan pergerakan harga global dan kebijakan ekspor-impor.
Pasar saham Indonesia sedang dalam fase transisi, di mana volatilitas masih tinggi, tetapi peluang tetap ada bagi investor yang cermat membaca situasi.
Meskipun tekanan eksternal seperti kebijakan The Fed dan arus dana asing yang keluar masih menjadi tantangan, kebijakan domestik seperti suku bunga BI yang stabil dan buyback saham tanpa RUPS dapat memberikan sedikit stabilitas bagi pasar.
Bagi investor yang ingin bertahan di tengah kondisi ini, strategi yang paling bijak adalah tetap fokus pada fundamental perusahaan.
Memilih saham dengan kinerja keuangan yang solid, pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan, dan valuasi yang menarik adalah langkah yang dapat mengurangi risiko.
Selain itu, diversifikasi portofolio tetap menjadi strategi terbaik dalam menghadapi ketidakpastian.
Tidak semua sektor akan mengalami tekanan yang sama, dan beberapa sektor justru bisa menjadi pemenang dalam kondisi seperti ini.
Dengan berbagai faktor yang masih berpengaruh terhadap pergerakan IHSG, volatilitas mungkin akan tetap tinggi dalam waktu dekat.
Namun, bagi mereka yang bisa melihat gambaran besar, ini bukan hanya periode ketidakpastian, tetapi juga fase di mana peluang investasi baru sedang terbuka.