Jakarta (ANTARA) - Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy kemungkinan terperangah ketika disodori "tawaran" oleh Menteri Keuangan Amerika Serikat Scott Bessent, perpanjangan tangan dari pemerintahan rezim Donald Trump yang kini tengah memimpin Negeri Paman Sam itu.
Betapa tidak, tawaran yang diajukan Bessent kepada Zelenskyy di Kiev pada 12 Februari lalu itu adalah agar Ukraina dapat memberikan akses tak terbatas kepada Amerika Serikat terhadap sumber mineral Ukraina, yang di dalamnya termasuk sumber yang kaya akan mineral langka.
Tidak hanya itu, laporan media The Economist yang mengutip sumber yang mengetahui perundingan tersebut mengungkapkan bahwa Zelenskyy hanya diberikan waktu satu jam untuk mempertimbangkan kesepakatan yang disebut sebagai imbalan atas berbagai bantuan militer yang telah dikirim untuk pasukan Ukraina.
Sontak saja, Zelenskyy menolak proposal tersebut,. Media BBC menyebut bahwa Zelenskyy menyatakan bahwa dirinya "tidak bisa menjual negara saya". Pihak Gedung Putih disebut "sangat frustrasi" dengan penolakan itu serta dengan sejumlah komentar Zelenskyy yang diibaratkan sebagai hinaan "yang tidak dapat diterima" kepada Trump.
Trump memang dalam beberapa kesempatan telah menyatakan bahwa Washington mengharapkan jaminan dari Ukraina untuk memberikan akses ke mineral langka sebagai imbalan atas bantuan finansial dan militer selama ini.
Sebagaimana dikutip dari BBC, penasihat keamanan nasional AS Mike Waltz menyatakan bahwa pihaknya telah memberikan kesempatan kesempatan bersejarah agar Ukraina dapat mendapatkan jaminan keamanan yang "berkelanjutan" serta "terbaik".
Seorang mantan pejabat senior Ukraina yang berbicara secara anonim dan dikutip Euronews menyatakan bahwa kesepakatan tersebut merupakan sebuah bentuk perjanjian kolonial sehingga wajar bila Presiden Zelenskyy tidak bisa menandatanganinya.
Wajar saja bila sang pejabat Ukraina menganggap tawaran AS itu sebagai perjanjian kolonial karena hal tersebut memang sangat selaras dengan bentuk pemaksaan ekonomi dan pertukaran yang tidak setara, karena akses tak terbatas terhadap sumber daya alam negara lain dengan "jaminan keamanan" bersifat eksploitatif.
Mengapa demikian? Hal itu karena mineral (apalagi mineral langka) memiliki nilai yang sangat tinggi dan berjangka panjang, sedangkan jaminan keamanan hanyalah merupakan hal yang sifatnya subyektif dan dapat ditarik kembali (dengan berbagai alasan apa pun dari pihak pemberi jaminan keamanan).
Perjalanan lintasan sejarah telah menyaksikan kesepakatan eksploitatif serupa, mulai dari konsesi kolonial di mana kerajaan-kerajaan Eropa mengambil sumber daya dari koloni-koloni dengan imbalan "stabilitas", hingga beragam kesepakatan pada era Perang Dingin di mana sejumlah negara adidaya mendukung berbagai diktator di berbagai negara dunia ketiga dengan imbalan akses untuk mengeruk sumber daya di negara itu.
Tidak hanya Ukraina dan Greenland, salah satu negara yang juga memiliki cadangan mineral langka adalah Kanada, yang selama ini dirundung oleh Trump dengan menyebut negara tetangga AS itu sebagai "Negara Bagian ke-51 AS" dan beberapa kali mencemooh Perdana Menteri Kanada sebagai hanya seorang "gubernur".
Mungkin bagi banyak pihak hal tersebut hanyalah bentuk keeksentrikan yang kerap ditunjukkan Trump. Namun, hal tersebut perlu diwaspadai karena memang berbagai daerah itu memiliki cadangan mineral langka, sehingga banyak yang menganggap bahwa sebenarnya sumber daya alam itulah yang diincar oleh AS.
Kecemasan AS untuk segera memiliki atau menambang di daerah yang banyak mineral langka ditengarai terkait dengan kenyataan bahwa China merupakan produsen unsur mineral langka terbesar di dunia, diperkirakan 70-80 persen total produksi logam tanah jarang (LTJ) berasal dari China.
Setelah China, Brasil juga dikenal memiliki cadangan logam tanah jarang yang cukup besar, begitu pula India, Australia, Vietnam, dan Rusia. Bahkan Rusia disebut telah meningkatkan kapasitas produksinya dalam beberapa tahun terakhir, meski masih tertinggal dibanding China.
Baca juga: AS berhenti jual senjata ke Ukraina
Baca juga: Ukraina objek atau subjek perundingan?