Jayapura, Papua (ANTARA) - Di tengah lanskap hijau Papua, Kampung Imsar di Distrik Nimborang, Kabupaten Jayapura, tampil dengan peradaban warga yang relatif lebih maju dibandingkan kampung-kampung sekitar.
Perjalanan 60 km dari Sentani menuju kampung ini semakin nyaman, berkat jalan aspal baru yang menghubungkan kampung dengan dunia luar.
Kampung Imsar dihuni oleh 411 jiwa dan 106 kepala keluarga yang berasal dari marga Hamong, Giay, Irab, dan Hembring.
Di suatu siang yang panas pada Senin (10/2), sejumlah ibu rumah tangga warga Kampung Imsar, tersenyum cerah menyambut kedatangan Mama Peninairab Yombe (67) di kedai noken.
”Sekarang saya sudah bisa bikin noken. Saya belajar sebentar saja, saya duduk saja, minta Mama ajarkan kita dan sekarang sudah ada beberapa yang bisa," kata Sarlota Elli memperkenalkan Mama Peninairab kepada ANTARA.
Mama Peni, begitu nama karib pemilik kedai noken yang ada di pinggir Jalan Kampung Imsar, bergegas duduk di samping Sarlota dan memperagakan cara membuat tas dari ragam tanaman yang tumbuh subur di kebun belakang kedainya.
Tangannya terampil melinting serat kayu dari pohon mahkota dewa kering di pahanya. Serat-serat itu digulung dengan tekanan yang pas, berulang-ulang hingga terbentuk benang panjang yang kuat.

Setelah benang terkumpul, Mama Peni mulai merajutnya menjadi tas noken. Jemarinya bergerak lincah, menyatukan setiap helai tanpa menggunakan simpul yang terlihat, tidak ada jahitan atau sambungan kasar, seolah menyatu secara alami, membentuk tas yang kokoh namun tetap fleksibel.
Untuk mempercantik tas yang dibuat, beberapa helai serat diberi pewarna merah yang diperoleh dari buah Annatto atau yang biasa dikenal warga setempat sebagai Ibomero. Sedangkan pewarna biru dicelup dengan rendaman buah Yuwi.
"Semuanya tinggal petik saja di kebun," katanya.
Di kedainya, tak kurang dari 15 noken telah siap dijual. Harga termahal Rp500 ribu untuk ukuran besar yang mampu memuat kayu bakar, sedangkan yang termurah di harga Rp100 ribu yang cukup untuk menyimpan satu telepon genggam.
Selain produk tas, Mama Peni juga memasarkan pakaian anak dan dewasa dari rajutan kulit kayu. Seluruhnya dipasarkan melalui kedai serta kegiatan festival yang diselenggarakan berkala oleh pemerintah daerah setempat.
Gaharu dan kakao
Berjarak selemparan batu dari kedai Mama Peni, Silas Giay (45), memperkenalkan pohon Gaharu, sebagai salah satu jenis tanaman termahal yang kini dibudidayakan sejak 2018 di kebunnya.
Diperkirakan, tak kurang dari 900 gaharu berdaun rimbun tumbuh subur di antara vegetasi hutan dengan rata-rata tinggi batang berkisar 1 meter lebih. Setiap pohon berjarak tanam sekitar 3 meter, agar kalau ditebang, masih ada ruang tanam baru.
Menurut Silas, warna daging kayu gaharu yang hitam pekat, harganya bisa mencapai Rp25 juta per 1 ons untuk kualitas super.Selama ribuan tahun, gaharu atau agarwood memang dikenal sebagai "kayu para dewa" karena aromanya yang mewah.
Selain daging pohon, daun gaharu juga bernilai ekonomis jika diolah jadi minuman teh, yang berkhasiat mengobati ragam keluhan penyakit, seperti nyeri sendi hingga gangguan pencernaan.
Daun gaharu biasanya dipetik saat pohon berusia 1,5 tahun atau akar yang sudah kuat lewat kemunculan daun muda.
Satu kantong teh gaharu seberat 50 gram setara dengan 8 liter seduhan dan dijual seharga Rp50 ribu per plastik, sedangkan teh cair tersedia dalam botol 500 ml seharga Rp20 ribu.
Tak jauh dari kebun Silas, Marthen Jackson Giay (34) sedang sibuk mencangkok bibit tanaman di kebun cokelatnya.
Harga cokelat basah pun bervariasi, dengan standar atau ukuran kecil dihargai antara Rp20 ribu hingga Rp30 ribu per kilogram.
Untuk cokelat kering, ia menjualnya kepada tengkulak seharga Rp95 ribu per kilogram, sementara di pelabuhan harganya mencapai Rp250 ribu per kilogram.
Dengan akses yang semakin baik dan dukungan yang tepat, Kampung Imsar berpotensi menjadi contoh nyata bagaimana kearifan lokal dapat bertahan dan berkembang di tengah arus modernisasi.